Gendis, meski terkejut, mempertahankan ketenangan.
"Kenapa? Mengapa menggunakan legenda Banaspati untuk melakukan semua ini?" tanyanya, suaranya tetap terkendali meski jantungnya berdebar kencang.
Pria itu tersenyum tipis, seolah-olah pertanyaan itu adalah pujian untuk kecerdikannya.
"Desa ini butuh pelajaran," ucapnya dengan suara dingin. "Mereka butuh sesuatu yang bisa mereka takuti, yang bisa memaksa mereka untuk mengingat akar mereka, dan jika beberapa orang harus mati untuk itu, maka itu harga yang layak."
"Tapi kau membunuh orang-orang tak bersalah!" Gendis memprotes, kemarahannya mulai memuncak.
Pria tersebut mengangkat bahu, tidak terganggu oleh tuduhan itu. "Dalam setiap legenda, selalu ada korban," jawabnya dengan filosofi yang mengerikan.
Gendis segera menyadari bahwa dia tidak hanya berhadapan dengan seorang pembunuh, tetapi juga dengan ideologi yang mendalam dan terdistorsi. Dia tahu, bukti harus segera diserahkan kepada yang berwajib. Dengan cepat, dia mengaktifkan perekam di ponselnya, memastikan setiap kata pria itu terekam.
Setelah mengumpulkan cukup bukti, Gendis bergegas kembali ke desa untuk meminta bantuan. Dengan bantuan kepala desa dan beberapa warga yang berani, mereka kembali ke gubuk untuk menangkap pria itu. Ketegangan mencapai puncak saat pria itu mencoba melarikan diri saat melihat rombongan warga mendekat.
Namun, warga desa yang telah siaga dan bersatu, berhasil memojokkannya. Dengan kerjasama yang baik, mereka menangkapnya tanpa memberinya kesempatan untuk melarikan diri lebih jauh. Polisi segera tiba di tempat kejadian dan mengambil alih, membawa pria tersebut untuk diadili atas kejahatannya.
Ketika kebenaran terungkap, rasa lega bercampur kesedihan menyelimuti Desa Trowulan. Warga desa, meskipun terpukul oleh kejahatan yang telah terjadi di antara mereka, merasa lega karena teror yang telah lama menyelimuti desa mereka akhirnya berakhir.
Gendis, di tengah rasa puasnya karena telah menyelesaikan misteri ini, merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia sadar bahwa mitos dan legenda bisa menjadi pedang bermata dua; di satu sisi mengajarkan dan mempersatukan, di sisi lain bisa dimanipulasi untuk membawa malapetaka.