Komentar yang menjunjung apresiasi perbedaan cara pandang adalah bertanya seperti, "Mengapa anda tidak percaya? Dapatkah anda ceritakan mengapa anda tidak percaya?", daripada langsung memberikan penghakiman seperti, "Heh, santet itu ada! Coba anda ke sini akan saya buktikan bahwa santet itu ada!"
Yang percaya dapat bertanya kepada yang tidak percaya dan yang tidak percaya dapat bertanya kepada yang percaya sehingga masing-masing diperkaya dengan sudut pandang berbeda tanpa harus meyakinkan satu dan lainnya. Yang percaya tidak memaksakan pendapat kepada yang tidak percaya untuk yakin dan yang tidak percaya tidak memaksakan pendapat kepada yang percaya bahwa itu tidak ada.
Memahami bahasa sebagi pesan dalam berkomunikasi juga penting. Kalimat "saya tidak percaya dengan dukun dan santet" apabila tidak dipahami dengan baik maka akan ditafsirkan sebagai tantangan. Kalimat tersebut cenderung dilihat sebagai tantangan daripada sebagai opini. Kalau kita 'melek' literasi maka kita seharusnya membuat opini baru sebagai antitesis opini sebelumnya, daripada membuat hujatan, nyinyiran atau menyalahkan.
Eksperimen video saya di tiktok memperlihatkan saya bahwa tingkat literasi kita masih sangat rendah. Ada enam komponen dalam literasi dasar ini, yaitu kemampuan baca-tulis-berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi, keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Akhirnya komen-komen yang sangat pedas, hujatan, nyinyiran dan bahkan tantangan itu menjadi komen yang menarik bagi saya untuk terus mempelajari sikap dan budaya manusia, terutama sikap dalam menghadapi perbedaan opini dan keyakinan.
Salam cerdas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H