Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebuah Ide Beragama

13 Desember 2020   16:43 Diperbarui: 13 Desember 2020   16:46 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: news.detik.com

Seseorang dalam seminggu ini mengikuti dan menyelami Islam di masjid. Minggu depannya ia ikut kebaktian di Geraja, minggu depannya lagi di pura dan sebaginya. Lalu kalau ada orang yang sedang merasa nyaman menyelami agama tertentu dengan segala ibadahnya selama bertahun-tahun, ya silahkan, tidak apa-apa. Namun tetap tidak diakui sebagai pengikut lembaga agama itu dan bukan dicacat sebagai umat agama tersebut.

Dalam bidang pendidikan pun demikian. Satu sekolah akan mempunyai banyak mata pelajaran agama dan siswanya dapat memilih akan ikut mata pelajaran agama apa.  Siswanya ikut mata pelajaran agama atas dasar minatnya sendiri, bukan atas dasar paksaan lembaga agama.

Dengan demikian, maka lembaga agama yang sudah meruntuhkan sekat lembaganya, tidak lagi berhitung akan jumlah umat dan tidak lagi menganggap ada yang mayoritas dan minoritas. Mereka akan fokus kepada aspek spiritual (keagamaan) yaitu budi pekerti mulia. Nantinya, mereka yang memilih untuk menyelami akan menilai sendiri mana ajaran yang nyaman dan yang tidak.

Lembaga agama yang sudah runtuh sekat lembaganya tidak lagi bisa digunakan sebagai alat politik untuk menggerakkan masa, karena memang sudah tidak mempunyai masa. Secara formal lembaga agama (agama) sudah tidak ada, sudah tidak diperlukan lagi. Ia diperlukan hanya sebagai alat 'open house' sehingga manusia menyadari bahwa yang ia perlukan adalah belajar keagamaan (aspek spiritual) dan bukan ikut terdaftar dalam sebuah lembaga seperti sekarang ini.

Sampai di titik ini, tidak ada lagi kolom agama di KTP, tidak ada lagi pertanyaan dalam interview kerja tentang agamanya dan tidak ada lagi pertanyaan 'apa agamamu' dalam sebuah percakapan. Ya, karena agama (sebagai lembaga dan identitas) sudah tidak diperlukan. Manusia mulai memasuki ruang-ruang pribadi aspek keagamaan sesuai kebutuhannya. Dan manusia dapat memasuki ruang-ruang manapun dan rumah ibadah manapun yang ia butuhkan itu lewat gerai-gerai open house agama yang sudah tidak menjadi lembaga. Manusia akan dapat menggetarkan hatinya dengan lantunan Al-fatihah, juga dengan doa Bapa Kami, juga dengan Mantra Gayatri, juga dengan Mantra Paritta Tisarana atau prasetyanya Konghucu.

Beranikah lembaga agama meruntuhkan sekat lembaganya dan membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun untuk menyelami tanpa harus diinisiasi/dibaiat dan diwartakan telah menjadi pemeluk agama tersebut? Mungkin belum selama lembaga agama masih menjadi alat politik kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun