Bukan hanya Indonesia, namun semua negara di dunia saat ini sedang mengalami masa sulit. Dan masa sulit ini bukan hanya di salah satu sektor saja. Bukan hanya ekonomi saja, namun semua sektor, baik itu pendidikan, lingkungan sosial, Kesehatan dan lapangan pekerjaan.
Apa yang terjadi? Ya kita semua tahu bahwa hempasan ini disebabkan karena pandemic Covid-19. Saya tidak membahas apakah pandemic ini scenario atau bukan. Yang jelas, kita semua mengambil sebuah resiko apabila mengabaikannya.
Sebagai orang tua, saya pun menyadari bahwa cara belajar anak dari rumah tidaklah maksimal, terutama berkenaan dengan interaksi sosialnya. Bagaimana anak belajar berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung. Saya pernah tanya kepada anak saya, suka belajar di rumah atau di sekolah? Dia menjawab di sekolah karena akan banyak bertemu dengan teman-temannya. Namun kalau saya di tanya, apakah akan membolehkan anak saya ke sekolah pada saat-saat seperti ini, maka saya tidak akan langsung menjawab boleh. Tentu saja saya harus memperhatikan banyak faktor lingkungan, karena bagaimana pun juga saya bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.
Kejenuhan dan terutama tidak tahu lagi harus bagaimana, banyak masyarakat yang akhirnya cenderung menjadi 'neurotik'. Cemas, takut dan gamang terhadap apa yang terjadi. Kecemasan itu kemudian malah bukan menjadi cemas yang akhirnya diam saja di rumah, tetapi menjadi kebalikannya, yaitu masa bodoh dan menganggap semua ini hanya scenario belaka. Berteriak bahwa covid 19 sebenarnya tidak ada, menyerukan tidak perlu memakai masker dan yang paling frontal adalah menolak adanya vaksin covid-19.
Ini adalah masa sulit. Benar-benar sulit. Bagi pengambil keputusan apalagi. Tidak usah di tingkat kementrian, coba kita lihat di tingkat kepala sekolah saja. Apabila kepala sekolah mengadakan pembelajaran datang normal ke sekolah tanpa memakai protocol Kesehatan, dan hal itu dilakukan karena kepala sekolah terpaksa mengadakan yang disebabkan oleh intimidasi pihak-pihak yang tidak percaya adanya covid 19, maka apabila terjadi kasus sakit dengan salah satu atau beberapa siswa di sana, maka siapa yang bertanggung jawab? Tentu bukan pihak yang mengintimidasi, namun kepala sekolah tersebut.
Di masa sulit ini, tidak semua keputusan akan menyenangkan. Dan tidak semua hal yang menyenangkan itu penting. Bahkan hal-hal yang penting cenderung dianggap tidak menyenangkan bagi Sebagian pihak.
Diam di rumah, bekerja dengan protocol Kesehatan, belajar jarak jauh, semua itu adalah hal penting yang tentu saja tidak menyenangkan. Siapa yang senang bekerja di batasi? Siapa yang senang di rumah terus? Siapa yang senang belajar hanya dari rumah terus? Tentu, semua hal tersebut tidak menyenangkan. Namun hal-hal tersebut adalah penting.
Ironisnya, penyakit 'neurotik' yang tidak disadari dan menjalar ini, kini menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Antara kita saling tidak percaya, atau bahkan tidak percaya apapun keputusan pemerintah.
Seharusnya kita bersama-sama mencari solusi mengatasi ini semua. Masing-masing bagian mengambil peran masing-masing untuk mengokohkan sudut-sudut lingkungan yang bisa dijangkaunya, bukan malah membuat provokasi untuk saling tuding dan menyalahkan.
Saya melihat video Menteri Pendidikan menjelaskan tentang masa sulit dunia pendidikan di dua channel video, yaitu channel Ade Armando dan channel Dedy Corbuzier. Dari semua yang dijelaskannya, memang kita menyadari bahwa tidak ada satupun menteri pendidikan di dunia yang siap menghadapi masa sulit pendidikan saat ini. Tidak ada manual booknya, tidak ada yang tahu bagaimana cara pasti mengatasinya. Semua negara sedang mencoba dengan caranya sendiri-sendiri.
Celah inilah yang kemudian digunakan untuk 'menghantam' mas Menteri dengan tuduhan bahwa Nadiem tidak tahu tentang dunia pendidikan Indonesia. Tentu saja, Nadiem hanyalah 'alat baku hantam'. Bukan Nadiem yang menjadi tujuan, namun pemerintahan Jokowi.
Kita tentu saja tidak dapat mengakhiri virus Covid-19, namun kita dapat  mengakhiri masa sulit kita sendiri. Kita semua sudah tahu protocol Kesehatan yang harus kita lakukan dalam bersosialisasi di masa pandemic ini, namun kita tetap menciptakan masa sulit kita sendiri.
Kita dapat mengakhiri masa sulit ini apabila tidak membawa kepentingan golongan. Memang terdengar klise, tapi mau apalagi kalau yang dapat menyelamatkan kita hanyalah kita sendiri. Semakin tidak kita sadari penyakit 'neurotik' kita, maka penyebaran penyakit ini akan menjadi 'fast exponential' melebihi covid-19.
Akhirnya kita berantakan bukan karena masa sulit pandemic virus covid, kita  berantakan karena kecemasan kita yang saling tidak percaya antara elemen-elemen bangsa. Apakah kita terlambat?Â
Belum, kalau dari sekarang kita tidak saling hujat, namun saling tambat. Belum, kalau dari sekarang kita tidak saling caci, namun saling memberi. Belum, kalau dari sekarang kita tidak saling tuduh, namun saling asuh.
Indonesia maju, kita bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H