-Kamis malam, jam 19.30, 27 Agustus 2008 (11 tahun lalu) saya bersama rekan Budi Prasodjo dan Sugianto meluncur ke rumah dr. Grangsang Suryomentaram, anak dari Ki Ageng Suryomentaram yang masih mempunyai rekaman-rekaman peristiwa bahkan menjadi pelaku dari metode KRAMADANGSA Suryomentaram.
Usianya saat kami temui tercatat 77 tahun. Namun beliau masih terlihat energik, sehat dan berapi-api ketika memaparkan KRAMADANGSA.
Saat pertama kali bertemu, saya mendengarkan kalimat khas yang juga sering diucapkan oleh Ki Ageng Suryomentaram ( saya baca dari buku Suryomentaram ), yaitu "Di sini tidak ada guru, tidak ada murid, yang ada hanyalah orang yang mengamati dirinya sendiri. Jadi walaupun saya anak Ki Ageng, belum tentu saya lebih pandai dari saudara semua. Begitu pula saudara dan teman-teman yang lain. Kita hanya orang yang sedang mengamati KRAMADANGSA."
Di rumah pak Grangsang, saya sangat beruntung bahwa saya mendapatkan koleksi buku-buku KRAMADANGSA yang tidak ada di pasaran. Buku-buku catatan dari ceramah Ki Ageng secara langsung. Dan buku-buku tersebut atau rekaman ceramah Ki Ageng selalu di bahas dan didiskusikan oleh orang-orang yang tertarik dengan KRAMADANGSA setiap sebulan sekali dalam pertemuan yang bernama KAWRUH JIWA.
"KRAMADANGSA sudah ditinjau dari berbagai ilmu, " kata pak Grangsang. " ada ahli psikologi, ahli Filsafat, ahli politik."
"Saya mau menulis kembali tentang KRAMADANGSA ," kata saya.
"Wah menarik itu. Dan saya sangat mendukung langkah saudara Agung Webe untuk kembali kepada budaya Nusantara. Jangan sampai kita seperti Pakistan. Kita akan hancur ketika kita kehilangan budaya sendiri. Saat ini masyarakat sedang 'gandrung' dengan sesuatu yang dari luar negeri, materi luar negeri, pendidikan luar negeri, padahal kita sendiri mempunyai sebuah metode yang tak kalah dengan mereka. Bahkan kalau kita mau terus terang, sumbernya memang ada di Nusantara dan mereka-mereka itu hanya melakukan modifikasi saja."
Pak Grangsang bercerita sebelum Ki Ageng meninggal, beliau sempat bicara di depan anak-anaknya, "Yang dimaksud dengan ilmu jiwa KRAMADANGSA itu bukan seperti yang selama ini aku bicarakan."
Pak Grangsang kaget dan bertanya, "Bapak sudah berceramah di depan ribuan orang dan sekarang berkata seperti itu, mereka semua yang pernah mendengarkan bapak artinya tertipu dengan ucapan-ucapan bapak?"
Ki Ageng menambahkan, "Kawruh Jiwa itu tidak dapat diutarakan, tidak dapat ditulis. Yang saya bicarakan dan ceramahkan itu hanyalah catatan-catatan saya, rekaman-rekaman saya dalam menjalani itu semua. Paham?"
Pak Grangsang menegaskan bahwa buku-buku yang diberikan pada saya tersebut bukanlah KRAMADANGSA, itu hanyalah rekaman dari perjalanan Ki Ageng menjalani KRAMADANGSA.
"jangan terjebak dengan buku" kata pak Grangsang. "jangan terjebak dengan metode. Boleh-boleh saja membuat metode tentang KRAMADANGSA dan sistematika KRAMADANGSA, tetapi janganlah apabila seseorang sudah selesai mengikuti seminar metode KRAMADANGSA kemudian mendapat cap sebagai KRAMADANGSA PRACTITIONERS.... "Â
Jam menunjukkan pukul 22.30 malam hari. Perbincangan kami semakin menarik, tetapi kami harus pamit pulang. Terimakasih pak Grangsang, terimakasih bapak masih mau menerima siapapun juga yang ingin mendalami, mempelajari, dan mempraktekkan KRAMADANGSA.
Salam cerdas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H