Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Quarterlife Crisis" dan Dampaknya bagi Perusahaan

2 Juli 2019   23:46 Diperbarui: 3 Juli 2019   02:06 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: www.besthealthmag.ca

Ngopi sore bersama teman yang berprofesi sebagai HRD sebuah perusahaan semakin memperkaya saya tentang permasalahan terkini seputar karyawan, terutama karyawan baru yang pada tahun di mana saya masih bekerja di perusahaan, rata-rata karyawan baru yang masuk lahir antara tahun 1988 sd 1990 an. 

Tentu saja di tahun 2019 ini, di mana karyawan baru yang masuk adalah rata-rata mereka yang lahir 1998 sd 2000 (untuk minimal lulusan SMA), mereka membawa spesifik permasalahan tersendiri, yaitu permasalahan dunia 'anak milenial'.

Tentu saja, permasalahan karyawan saat ini tidak dapat disamakan pada saat jaman saya masih bekerja (tahun 2010). Perubahan perilaku anak-anak digital, dari 'life style' sampai kepada 'keyakinan' akan menjadikan permasalahan seputar karyawan semakin sangat kompleks.

Ada yang menarik dari permasalahan anak muda yang sedang beranjak dewasa, yaitu 'Krisis Seperempat Abad' atau Quarterlife Crisis.

Sebenarnya krisis ini sudah terjadi sejak dulu, sejak adanya perpindahan dari fase remaja ke fase dewasa, namun istilah 'Quarterlife Crisis' baru muncul dan sering digunakan pada tahun 2001 yang dimunculkan oleh Alexandra Robbins, (yaitu seorang penulis buku dan pembicara publik di bidang kesehatan, pendidikan, dan komunitas dewasa muda) dan Abby Wilner (penulis buku Quarterlife Crisis).

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan krisis seperempat abad ini? Yaitu sebuah kegalauan yang terjadi di antara umur 20 sampai 30 tahun, yang mengalami ketakutan akan kelanjutan hidup di masa depan yang meliputi karir, kemapanan, keluarga, sosial dan juga keyakinan.

"Karyawan baru dengan umur 20 sampai 25 tahun sering bolos dengan alasan yang tidak jelas," ungkap teman HRD saya itu. "Bahkan mereka tidak takut dipecat. Easy going sekali. Ada juga yang bolos hanya karena pacarnya ngajak jalan."

Dalam pekerjaan, pertanyaan seperti; "Apakah pekerjaan ini sesuai passion ku?" banyak membuat galau mereka yang terjangkit krisis ini. Betapa tidak? Setelah lulus sekolah dan masih dengan idealisme sekolahan, mereka mendapatkan pekerjaan dengan persaingan yang sangat ketat. Setelah pekerjaan tersebut dilakukan, barulah menyadari adanya hal-hal yang bertentangan antara idealisme dengan dunia kerja yang nyata.

Pergaulan dan lingkungan juga dapat memicu terjadinya quarterlifer crisis ini. Obrolan dan pertanyaan seputar; "Kerja selama ini kok belum mapan? Kapan menikah? Sudah punya apa saja dari hasil gaji kerja? Kerjamu sepertinya tidak jelas jenjang karirnya?"

Dengan kondisi krisis yang melanda dirinya, maka tidak heran, tingkat absensi ketidakhadiran akan meningkat. Mereka memilih tidak masuk kerja hanya karena sedang galau.

Lalu bagaimana sebaiknya perusahaan menghadapi masalah krisis seperempat abad yang menimpa karyawan mereka?

Perusahaan harus membekali para manajer dengan ilmu coaching dan counseling. Para manajer juga harus tahu fenomena quarterlifer crisis ini dan bagaimana menghadapinya (Jangan sampai manajernya juga berumur 28 tahun dan sedang mengalami krisis ini).

Karena krisis ini merupakan krisis alami yang terjadi pada perpindahan fase dari remaja ke dewasa, yang biasanya terjadi dalam rentang umur 20 sampai 30 tahun, maka setiap karyawan baru dalam rentang umur tersebut sangat mungkin mengalaminya, hanya saja terjadi pada umur yang tidak sama.

Apa dampaknya bagi perusahaan yang tidak peduli adanya fenomena ini? Ya, apabila mereka mengalami krisis ini dan mendapatkan informasi yang salah, penanganan yang salah, maka tidak tertutup kemungkinan keluar dari pekerjaan menjadi keputusannya.

Apabila ini terjadi maka biaya rekrutmen, biaya pendidikan dan pengembangan merupakan biaya yang akan ditanggung perusahaan setiap kali ada karyawan yang mengundurkan diri.

Jadi, quarterlifer crisis bukanlah masalah sederhana bagi sebuah perusahaan apabila dampaknya dapat menyebabkan meningkatnya absensi ketidakhadiran sampai kepada keluar dari pekerjaan.

Bagi individu yang mengalaminya, tentu saja jangan galau berkepanjangan. Hal yang perlu disadari pertama kali adalah, bahwa hal ini merupakan fase alami yang dialami oleh semua remaja yang beranjak dewasa.

Pertanyaan-pertanyaan seputar karir, kematangan berpikir, pasangan dan keluarga, kemapanan hidup, dan keyakinan akan mendapatkan solusi dan penyertaan yang tepat dengan menemukan orang-orang yang tepat yang sudah terlebih dulu mengalami dan berhasil mengatasinya. 

Apapun hal yang dialami saat ini dan mungkin saja anda berpikir bahwa harapan anda belum terpenuhi dari semua pertanyaan di atas, maka kehidupan bukanlah merupakan semua perwujudan dari keinginan yang anda bangun saat idealisme anda tinggi di bangku kuliah.

Kehidupan dapat saja menghadirkan bentuk-bentuk peristiwa yang berbeda yang dapat anda syukuri sebagai bentuk rahmat dari Tuhan yang anda yakini.

Salam sukses

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun