22 Mei 2019, saya dan beberapa sahabat melakukan aksi bagi bunga  sebagai wujud rasa cinta kepada Negeri. Kami melakukannya di area seputar stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Namun, garis peristiwa mengajak kami berpindah tempat, yaitu menuju ke area seputar stasiun Gondangdia, tepatnya kami melintas di depan masjid Cut Nyak Dien.Â
Saya melihat banyak orang beristirahat di masjid Cut Nyak Dien dan di depan Masjid, ada dua Mobil Besar dari sebuah Yayasan Amal terkemuka yang memasang tulisan "Bagi Makanan Gratis."
Saya sempat bertanya kepada seorang satpam di seberang masjid, "Dari kapan mereka di sini pak?"
"Dari kemaren sudah banyak yang datang pak."
Saya berhenti sebentar, mengambil kamera dan memotret beberapa sisi kegiatan di masjid tersebut. Saat itu sedang terlihat dari dalam masjid, ada orang yang membagikan kaos putih untuk seluruh orang yang datang di sana.Â
Untuk kaos yang dibagikan gratis kepada lebih dari 200 orang, tentu saja ada penyokong dana pembuatan kaos tersebut. Namun, itu bukan urusan saya. Penyokong dana untuk pembuatan kaos dan bagi makan gratis tentunya untuk mendukung aksi yang akan mereka lakukan hari itu. Entahlah ....Â
Yang membuat saya kaget adalah, teriakan dari dalam masjid menggunakan speaker yang ditujukan ke arah saya dan teman saya, "Tidak boleh ada foto! Itu yang foto hapus! Yang ambil foto hapus! Segera hapus!" Â
Suasana agak tegang karena semua orang dari dalam masjid memandang ke sisi luar di mana saya dan teman saya berdiri. Sempat terlintas, kalau semua orang dari dalam sana merebut kamera saya, apa boleh buat. Saya akan merelakan kehilangan kamera tersebut.Â
Namun, sebelum suasana menjadi semakin tegang, saya menurunkan kamera dan memasukkannya ke dalam tas sambil meminta kepada teman saya menyimpan hape nya. Saya melangkah mundur dan menjauh dari kerumuman orang-orang di masjid tersebut.
Walaupun saya berada di seberang masjid, menyusup ke sebuah warung makan, saya masih dapat mendengarkan orasi dari dalam masjid yang mengobarkan semangat 'pantang mundur' (terlalu ektrem kalau saya tulis semangat perang) dan siang itu, setelah sholat Dhuhur, setelah kaos seragam putih mereka kenakan, mereka bergerak dari Jalan Johar menuju Gedung Bawaslu untuk memperjuangkan keadilan seperti isi orasi sebelumnya.
Saya hanya merenung tentang kejadian di dalam masjid tersebut. Kalau masjid berubah fungsi menjadi tempat kegiatan politik, menjadi tempat orasi pembakar semangat penuntut keadilan (keadilan bagi siapa?), maka masihkah ada kedamaian di dalamnya?
Mungkin saja, orang-orang politik itu menggunakan masjid sebagai 'tempat sembunyi' agar kegiatan politik dapat disamarkan menjadi kegiatan keagamaan. Dan ketika ada yang melarangnya atau bahkan mengkritisinya, maka ia akan mengatakan bahwa hal itu merupakan kriminalisasi atau memusuhi agama.Â
Sayangnya juga, masih banyak yang tergiur dan terjebak dengan orasi-orasi politik kekuasaan yang menyertakan ayat-ayat kitab suci sebagai pembenaran dari tindakan yang ingin dilakukannya.
Salam damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H