Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Palu dan Donggala, Doaku untukmu Semua

2 Oktober 2018   00:58 Diperbarui: 2 Oktober 2018   01:04 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dari liputan6.com

Gempa itu berkekuatan 7,4SR atau dikatakan setara dengan 200 kali bom Hirosima. Kabar gempa dari Palu & Donggala kali ini membuat saya terdiam beberapa saat. Seketika ingatan saya melayang tentang gempa yang pernah saya alami yaitu gempa Yogya pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9SR dan gempa Lombok pada 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4SR.  Baik Yogya maupun Lombok menyebabkan saya berlari menuju lapangan. Bedanya kalau Yogya menyebabkan saya dan keluarga tidur di lapangan selama 3 hari tanpa listrik dan tanpa saluran telpon, waktu di Lombok saya masih bisa kembali ke Jakarta esok harinya.

Gempa Palu & Donggala bekekuatan 7,4SR, tentu saja ini lebih besar dari Yogya dan Lombok. Saya sangat merasakan bagaimana saudara-saudara kita di Palu & Donggala sangat panik dengan kejadian yang tiba-tiba ini. Tanpa listrik, tanpa komunikasi, tanpa bahan pangan dan air bersih, apabila hal ini berlangsung lama maka akan menyebabkan kebingungan yang mungkin saja dapat memicu tindakan-tindakan di luar nalar.

Mungkin bagi saudara-saudara yang hanya melihat kejadian-kejadian gempa dari jauh hanya dapat bilang, "Kok bisa bertindak seperti itu ya? (mengambil bahan makanan, menjarah)" --  lalu banyak yang melakukan judgment dan menyalahkan pihak-pihak lain, termasuk pemerintah. Dan bagi saya, sangat bisa, karena kepanikan kolektif dapat menular dan hal itu terjadi secara spontan.

Saya menyebutnya kepanikan kolektif.

Panik merupakan energi yang dahsyat. Kemudian apabila banyak yang mengalaminya di dalam satu lingkungan maka secara spontan energi panik itu akan menular secara kolektif di dalam lingkungan tersebut. Terus terang gempa Yogya 2006 merupakan pengalaman saya merasakan kepanikan kolektif dan di kemudian tahun (2012 -- 6 tahun kemudian) pengalaman tentang kepanikan kolektif ini yang saya ubah menjadi 'katarsis' untuk membebaskan dari kepanikan kolektif terhadap apapun juga.

Apa yang saya alami tentang kepanikan kolektif ini?

Setelah pukul 06.45 pagi terjadi gempa, saya berteriak untuk mengajak semua yang ada di rumah saat itu berlari ke lapangan terdekat. Saya ke kamar menggendong anak saya Dylan yang saat itu baru berumur 4 tahun. Anak pertama saya, Lupyta sudah berumur 8 tahun dan bisa bergegas berlari bersama ibunya. Tembok belakang rumah ambrol. 

Di lapangan kami semua menyaksikan jatuhnya genteng-genteng dari rumah sekeliling lapangan. Saat itu listrik padam dan saluran telpon semua mati. Dalam kondisi seperti itu, semua penduduk di lapangan tidak tahu apa yang terjadi? Ini gempa apa? Bagaimana kondisi di luar? Beberapa gempa susulan semakin menambah kepanikan dan ketidaktahuhan tentang apa yang harus diperbuat saat itu.

Karena tidak ada yang keluar lingkungan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, saya berinisiatif keluar dengan mengendari sepeda motor. Menyusuri jalan Pekaten, Kotagede, saya menuju ke jalan imogiri dan terlihat rumah-rumah yang roboh beserta masyarakat yang berlari kesana-kemari karena bingung. Di saat itulah kepanikan kolektif terjadi! Dari arah depan saya, puluhan orang memenuhi jalan imogiri sambil berlari dengan panik dan berteriak-teriak, "Tsunami .. Tsunami .. Tsunami ... !"

Apa yang saya alami? Tertular! Tanpa pikir panjang saya membelokkan motor sambil panik mencari jalan pulang ke lapangan tempat penduduk berkumpul. Chaos! Itulah yang terjadi! Kepanikan penduduk di lapangan menyebabkan gema takbir diteriakkan berkali-kali. Bahkan saat itu, di tengah  situasi panik, terbesit sebuah bayangan, "Inikah akhir dari dunia?"

Beberapa saat kemudian setelah saya berhasil menarik diri dari kepanikan, pikiran jernih baru muncul dan baru dapat mengatakan, "Ah, mosok Tsunami dari arah utara Yogya?"

Apa yang saya ceritakan tentang kepanikan kolektif di atas dapat dijadikan refleksi bersama, bahwa kita harus berhati-hati dengan emosi, apalagi secara kolektif (bersama). Kondisi masyarakat yang bingung, tidak ada listrik -- tidak ada komunikasi, tidak ada bahan pangan dan air bersih, sangat rentan dengan pikiran kalut, takut dan panik.

Tahun 2006, saat gempa Yogya, media sosial yang ramai baru twitter dan Friendster (penggunanya juga tidak sebanyak facebook sekarang), sehingga posting foto gempa dan beritanya belum secepat saat ini dengan media facebook. Tentu ada sisi positif dan negatif. Sisi positif dengan berita yang sangat cepat maka bantuan juga cepat datang. Sisi negatif adalah menciptakan kepanikan kolektif yang lebih luas. Apakah saat gempa Yogya tidak terjadi penjarahan toko makanan? Tidak terjadi pencurian sepeda motor yang ditinggalkan di jalan? Itu semua terjadi. Sekali lagi hal tersebut dipicu karena kepanikan kolektif. Apalagi ada oknum yang sengaja memanfaatkan situasi tersebut untuk mencuri atas nama 'kesempatan'.

Di setiap bencana akan terjadi kepanikan kolektif. Penyebab utamanya adalah karena bingung tidak tahu harus berbuat apa dan berpikir harus menyambung hidup. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang dihasilkan dari kepanikan kolektif tersebut? Ya, kita semua. Terutama aparat keamaan yang diterjunkan dengan cepat guna meredam aksi-aksi di luar nalar yang ada. Kemudian kita yang berada di luar lingkungan bencana yang tentu saja seharusnya tidak tertular kepanikan tersebut. Apabila tertular juga maka seseorang hanya dapat mencari kambing hitam dan melampiaskan marahnya tanpa alasan. 

Ketenangan kita yang di luar, dengan tidak menghakimi pihak manapun juga, dengan tidak menyalahkan siapapun juga, akan membantu meredam kepanikan kolektif yang sedang terjadi. Apabila dapat memberikan bantuan sekecil apapun, dalam bentuk apapun, maka lakukanlah dengan tepat sasaran. Namun apabila belum dapat memberikan bantuan secara moril maupun material, maka berikanlah bantuan dengan doa dan diam.

Doa dengan cinta anda, diam atas berita yang tidak anda ketahui secara nyata, adalah bantuan besar untuk menciptakan ketenangan kolektif. Dan ketenangan kolektif ini yang nantinya diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk tetap kokoh dalam menerima apapun yang hadir secara tak terduga, baik itu apa yang kita namakan bencana atau suka cita.

'Pray for Palu & Donggala' 

Agung webe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun