Gempa itu berkekuatan 7,4SR atau dikatakan setara dengan 200 kali bom Hirosima. Kabar gempa dari Palu & Donggala kali ini membuat saya terdiam beberapa saat. Seketika ingatan saya melayang tentang gempa yang pernah saya alami yaitu gempa Yogya pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 5,9SR dan gempa Lombok pada 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4SR. Â Baik Yogya maupun Lombok menyebabkan saya berlari menuju lapangan. Bedanya kalau Yogya menyebabkan saya dan keluarga tidur di lapangan selama 3 hari tanpa listrik dan tanpa saluran telpon, waktu di Lombok saya masih bisa kembali ke Jakarta esok harinya.
Gempa Palu & Donggala bekekuatan 7,4SR, tentu saja ini lebih besar dari Yogya dan Lombok. Saya sangat merasakan bagaimana saudara-saudara kita di Palu & Donggala sangat panik dengan kejadian yang tiba-tiba ini. Tanpa listrik, tanpa komunikasi, tanpa bahan pangan dan air bersih, apabila hal ini berlangsung lama maka akan menyebabkan kebingungan yang mungkin saja dapat memicu tindakan-tindakan di luar nalar.
Mungkin bagi saudara-saudara yang hanya melihat kejadian-kejadian gempa dari jauh hanya dapat bilang, "Kok bisa bertindak seperti itu ya? (mengambil bahan makanan, menjarah)" -- Â lalu banyak yang melakukan judgment dan menyalahkan pihak-pihak lain, termasuk pemerintah. Dan bagi saya, sangat bisa, karena kepanikan kolektif dapat menular dan hal itu terjadi secara spontan.
Saya menyebutnya kepanikan kolektif.
Panik merupakan energi yang dahsyat. Kemudian apabila banyak yang mengalaminya di dalam satu lingkungan maka secara spontan energi panik itu akan menular secara kolektif di dalam lingkungan tersebut. Terus terang gempa Yogya 2006 merupakan pengalaman saya merasakan kepanikan kolektif dan di kemudian tahun (2012 -- 6 tahun kemudian) pengalaman tentang kepanikan kolektif ini yang saya ubah menjadi 'katarsis' untuk membebaskan dari kepanikan kolektif terhadap apapun juga.
Apa yang saya alami tentang kepanikan kolektif ini?
Setelah pukul 06.45 pagi terjadi gempa, saya berteriak untuk mengajak semua yang ada di rumah saat itu berlari ke lapangan terdekat. Saya ke kamar menggendong anak saya Dylan yang saat itu baru berumur 4 tahun. Anak pertama saya, Lupyta sudah berumur 8 tahun dan bisa bergegas berlari bersama ibunya. Tembok belakang rumah ambrol.Â
Di lapangan kami semua menyaksikan jatuhnya genteng-genteng dari rumah sekeliling lapangan. Saat itu listrik padam dan saluran telpon semua mati. Dalam kondisi seperti itu, semua penduduk di lapangan tidak tahu apa yang terjadi? Ini gempa apa? Bagaimana kondisi di luar? Beberapa gempa susulan semakin menambah kepanikan dan ketidaktahuhan tentang apa yang harus diperbuat saat itu.
Karena tidak ada yang keluar lingkungan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, saya berinisiatif keluar dengan mengendari sepeda motor. Menyusuri jalan Pekaten, Kotagede, saya menuju ke jalan imogiri dan terlihat rumah-rumah yang roboh beserta masyarakat yang berlari kesana-kemari karena bingung. Di saat itulah kepanikan kolektif terjadi! Dari arah depan saya, puluhan orang memenuhi jalan imogiri sambil berlari dengan panik dan berteriak-teriak, "Tsunami .. Tsunami .. Tsunami ... !"
Apa yang saya alami? Tertular! Tanpa pikir panjang saya membelokkan motor sambil panik mencari jalan pulang ke lapangan tempat penduduk berkumpul. Chaos! Itulah yang terjadi! Kepanikan penduduk di lapangan menyebabkan gema takbir diteriakkan berkali-kali. Bahkan saat itu, di tengah  situasi panik, terbesit sebuah bayangan, "Inikah akhir dari dunia?"
Beberapa saat kemudian setelah saya berhasil menarik diri dari kepanikan, pikiran jernih baru muncul dan baru dapat mengatakan, "Ah, mosok Tsunami dari arah utara Yogya?"