Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Pilot Garuda Mengancam Mogok Hanya karena Tidak Adanya Direktur Operasi?

13 Juni 2018   20:11 Diperbarui: 13 Juni 2018   20:23 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://travel.dream.co.id

Rencana mogok dari APG (Asosiasi Pilot Garuda) pada masa liburan Lebaran ini ditunda dan dikabarkan akan dilakukan paling lambat pada minggu ke dua bulan Juli 2018. Tentu saja apabila hal ini benar-benar terjadi maka yang dirugikan adalah konsumen.

Sejauh ini Asosiasi Pilot Garuda juga pernah mengancam mengadakan aksi mogok, yaitu tahun 2003 dan 2011 yang berkaitan dengan tuntutan perbaikan gaji. Apabila tahun 2018 juga ada ancaman mogok pada bulan Juli mendatang, maka dalam kurun 18 tahun ini sudah terjadi tiga kali ancaman mogok dari para pilot.

Bagi saya, upaya ancaman mogok ini menarik karena tentu saja berkaitan dengan apa yang disebut sebagai imbalan kesejahteraan dan sikap profesionalime kerja.

Dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) 2017 ditentukan Direktur Utama Garuda Indonesia yang baru, yaitu Pahala Nugraha Mansury. Secara lengkap sebagai berikut:

  • Direktur Utama: Pahala Nugraha Mansury
  • Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko: Helmi Imam Satriyono
  • Direktur Layanan: Nicodemus P Lampe
  • Direktur Produksi: Puji Nur Handayani
  • Direktur Marketing dan Teknologi Informasi: Nina Sulistyowati
  • Direktur SDM dan Umum: Linggarsari Suharo
  • Direktur Kargo: Sigit Muhartono

Dalam susunan tersebut, Direktur Operasi yang sebelumnya ada lalu hilang dan muncul Direktur baru, yaitu Direktur Kargo.

Siapa yang berhak duduk sebagai Direktur Operasi? Posisi Direktur Operasi adalah posisi yang dipegang oleh seorang pemegang lisensi ATPL (Airline Transpot Pilot Licence) yang notabene adalah seorang pilot dan memang posisi ini tidak bisa digantikan oleh profesi lainnya. Hal ini saya garis bawahi bahwa posisi Direktur Operasi harus seseorang yang memegang lisensi ATPL dan itu adalah seorang pilot (tidak bisa digantikan oleh profesi lainnya)

Hal ini akan makin menarik apabila para konsumen pengguna pesawat tahu bahwa salah satu tuntutan mogok kerja adalah pengembalian adanya Direktur Operasi tersebut. Tentu alasan pentingnya ada Direktur Operasi bagi sebuah maskapai penerbangan dapat dijadikan 'tameng' dari alasan yang lebih dalam, yaitu agar kenaikan jenjang profesi pilot tidak berhenti pada jenjang Captain saja. Namun dapat bersaing untuk menduduki kursi Direktur Operasi.

Apakah sebuah maskapai penerbangan harus ada Direktur Operasi? Penentuan jumlah Direktur dan jenisnya bagi BUMN ditentukan oleh komisaris, dalam hal ini komisaris terbesar adalah pemerintah. Tentu saja RUPS bagi Garuda Indonesia juga sudah mengkaji dari CASR (Civil Aviation Safety Regulation). Pada CASR 121.61 butir (c) mensyaratkan kualifikasi minimum untuk personel pada posisi Direktur Operasi jika memang posisi itu ada. Pada CASR 121.59 butir (a), persyaratan minimum struktur organisasi maskapai adalah seperti yang dipersyaratkan atau yang ekuivalen. Hal ini dimaksudkan apabila suatu maskapai mempunyai variasi dari ketentuan tersebut maka hal ini masih dimungkinkan dengan ketentuan yang ada pada CASR 121.59 butir (b). Penamaan atau bentuk organisasi suatu maskapai bukan menjadi harga mati seperti syarat minimum tersebut diatas.

Direktur Operasi bisa saja ditiadakan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah apabila Komisaris menilai tidak ada orang-orang yang layak mengisi posisi tersebut pada saat dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Lalu bagaimana dengan arah operasi apabila tidak ada Direktur Operasi? Arah Operasi sebuah maskapai dapat dikontrol oleh Direktur yang juga membawahi operasional, yaitu Direktur Produksi.

Tentu saja, banyak yang harus melakukan refleksi secara professional dalam hal ini, termasuk profesi pilot itu sendiri. Apabila memang alasan penghilangan posisi Direktur Operasi karena tidak ditemukan orang yang layak sesuai uji kelayakan dan kepatutan, maka profesi Pilot harus berbenah diri.  Proses adanya pelatihan, regenerasi, penilaian kompetensi dan pengkaderan mungkin terlupakan selama ini sehingga berujung pada hilangnya posisi Direktur Operasi. Artinya posisi Direktur Operasi tidak hanya membutuhkan 'licence ATPL' semata atau hanya 'pilot skill', namun dibutukan managerial yang baik dan keluasan visi dan kemampuan menerjemahkan visi menjadi misi yang dapat diimplementasikan.

Jadi apabila ancaman mogok karena tidak adanya posisi Direktur Operasi yang disebabkan karena Komisaris tidak mendapatkan orang yang layak sesuai dengan uji kelayakan dan kepatutan dan tetap dilakukan, maka profesionalisme pilot patut dipertanyakan. Karena jalannya arah operasional sudah diawasi oleh Direktur Produksi yang mungkin saja bagi Komisaris dilihatnya sebagai kelayakan untuk mengontrol operasional maskapai.

Dari sisi profesionalisme, bagi saya apabila ada seorang karyawan yang sampai tiga kali menuntut perbaikan gaji dan kemudian masih bekerja di sana, maka dia sendiri tidak yakin bahwa profesinya dibutuhkan di mana saja. Apabila seorang professional yakin bahwa profesinya merupakan profesi penting dan banyak dibutuhkan, maka setelah sekali ia melakukan protes atas ketidaksesuaian pendapatan yang didapat dan tidak dipenuhi, maka ia akan secara professional mengundurkan diri. Ia akan mencari dan singgah di tempat yang memang memberikan imbalan yang layak bagi dirinya.

Apabila ancaman mogok besok Juli ini benar dilakukan, maka tentu saja sebagai konsumen penerbangan patut memberikan support kepada Komisaris dan Pemerintah untuk tepat mengambil langkah antisipasi hal tersebut, karena bisa saja kepentingan konsumen ini yang dipermainkan oleh oknum-oknum yang sangat berambisi untuk duduk di posisi Direktur Operasi padahal sesuai uji kelayakan memang tidak layak.

Akhirnya, saya  sendiri juga berharap bahwa sikap professional yang ada ditegakkan, jangan sampai kepentingan konsumen dikalahkan hanya karena ambisi posisi kekuasaan bagi satu devisi saja.

Lalu ada yang bertanya, bagaimana sikap professional tersebut? Saya jawab sambil tersenyum, "Kalau hanya mengancam mogok, maka hal tersebut memperlihatkan bahwa pengancam masih butuh bekerja di sana dan takut tidak diterima di luar. Jangan ancam mogok, namun lakukan resign masal! Tidak puas? Keluar! Toh anda mengatakan bahwa profesi anda sangat dibutuhkan di mana-mana." 

Semoga masalah segera teratasi tanpa mengorbankan konsumen penerbangan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun