“Pernah bekerja sebelum menjadi Pramugari?” Pertanyaan saya kepada seorang pramugari ketika saya sedang antri di toilet pesawat Boeing 737.
“Pernah pak, saya dulu petugas tiket tol di Tol Pluit.”
Jawaban ini sangat menarik bagi saya sehingga beberapa penumpang lain yang ingin ke toilet sengaja saya biarkan duluan. Saya masih bisa tahan ke toilet untuk cerita pramugari yang bagi saya sebuah pelajaran tentang pekerjaan. Saya mengajukan beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab dengan cerita yang mengalir di sela-sela senyumnya yang menawan. Karena saat itu sudah selesai penyajian makan, maka mbak pramugari leluasa bercerita tentang pekerjaannya sekarang dan pekerjaan yang dulu.
“Saya dulu penjaga tol pak”, demikian ia memulai ceritanya.
Awalnya saya tidak mempunyai cita-cita menjadi Pramugari karena saya sadar saya tidak cantik, susah senyum dan suka menyendiri. Lagi pula wawasan saya tidak luas sedangkan pramugari dituntut luas wawasannya karena bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang beragam.
Dulu saya kos bersama beberapa teman, patungan agar biaya kos menjadi murah. Kadang untuk makan dengan lauk yang beragam saya harus menunggu beberapa waktu agar uang terkumpul. Sekarang saya dapat menyewa apartemen sendiri.
Awalnya saya tertarik menjadi pramugari ketika saya memperhatikan mobil jemputan pramugari yang melintas di pintu tol ini. Ketika pintu mobil dibuka oleh sopir saya melihat pramugari yang ada di dalamnya. Ada yang sedang tidur, ada yang sedang dandan, ada yang sedang telpon. Saya berkata dalam batin saya, “enak banget ya, berangkat dijemput dan pulang diantar. Pantesan terlihat ceria dan cantik.”
Saya lalu membandingkan dengan diri saya yang berangkat memakai motor, kena debu, kena panas, berkeringat. Kemudian terbesit pertanyaan dalam diri saya, “Bisa nggak ya saya jadi pramugari seperti mereka?”
Kemudian mulai saat itu setiap mobil jemputan pramugari melintas saya selalu memperhatikan pramugari di dalamnya. Saya tidak terbiasa ke toko buku, namun saat itu saya ke toko buku dan menemukan buku Diary Pramugari. Buku tersebut semakin membuat saya ingin menjadi pramugari.
“Oh buku yang bagus tentunya. Pengarangnya siapa ya?” sela saya.
“Agung Webe nama pengarangnya.” Sambil terus bercerita yang menandakan bahwa ia tidak mengenal bahwa orang yang mengajaknya ngobrol ya agung webe itu.
Lalu ketika mendengar lowongan menjadi pramugari saya mendaftarnya. Alhamdulillah prosesnya lancar sampai saya diterima menjadi pramugari. Saya hampir tidak percaya saya diterima dan ternyata sekarang saya terbang. Saya senang sekali.
Kalau libur saya sering mengunjungi teman-teman di kos membawakan makanan dan oleh-oleh dari luar negeri. Saya juga ajak mereka menginap di apartemen saya. Sampai-sampai teman saya bilang, “Berapa bulan gaji kita ya bisa menempati apartemen seperti kamu ini?”
Saat melintas di pintu tol tempat dimana saya bekerja dulu saya juga sering membawakan oleh-oleh untuk teman yang sedang bertugas saat itu.
Saya bertanya hal yang sensitif, yaitu gaji. Namun maksud saya bukan untuk memandingkan. Hal tersebut hanya ingin tahu apakah Nina (nama pramugari tersebut) dapat menggunakan uangnya secara tepat dan merencanakan keuangannya dengan baik atau tidak.
“Sekarang pendapatan saya rata-rata 25 juta per bulan.”
Hal ini merupakan sebuah perjalanan tentang achievement atau pencapaian. Apabila Nina hanya ingin saja ketika melihat pramugari di mobil jemputan, maka selamanya ia tidak berubah. Nina tidak hanya ingin, namun ia melakukan tindakan nyata yaitu mendaftar menjadi pramugari.
Banyak dari karyawan yang hanya sebatas ingin berubah tanpa pernah mencoba untuk melakukan tindakan nyata yang mengarahkan kepada perubahan tersebut. Banyak juga yang ternyata salah meng-investasikan apa yang dipelajarinya. Ia belajar hal yang berbeda yang tidak mendukung sama sekali dengan pekerjaannya saat itu.
Nina, dari penjaga pintu tol menjadi pramugari merupakan dua hal yang masih ada korelasinya, yaitu bidang ‘service’ atau pelayanan. Dan hal ini yang memperlancar Nina karena ia masih melakukan pekerjaan dengan ‘core’ yang sama.
Yang jelas, bila Anda mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri Anda, maka jangan berhenti sebatas ingin. Lakukan tindakan nyata yang mengarahkan kepada perubahan tersebut. Lakukan pembelajaran atau pengembangan yang masih sama nilainya dengan pekerjaan Anda saat ini sehingga keahlian yang sudah Anda pupuk dasarnya dapat terus dilanjutkan untuk mencapai 10.000 jam terbang pada keahlian Anda tersebut.
Terimakasih Nina atas ceritamu yang menginspirasi. Sukses selalu buatmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H