Mohon tunggu...
Agung wahyudi
Agung wahyudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Unpam

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jelang Ramadhan Harga Beras Kembali Melambung Tinggi

15 Maret 2024   09:28 Diperbarui: 15 Maret 2024   09:30 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga Beras dan gabah masih tinggi dan meningkat walaupun panen padi di beberapa daerah dan operasi pasar intensif oleh Bulog telah menambah pasokan beras di pasar.

Ketidakseimbangan pasar kelihatannya masih terjadi saat kita memasuki bulan Ramadhan yang biasanya akan meningkatkan permintaan secara musiman. Proyeksi BPS terakhir menunjukkan musim panen raya akan bergeser hingga April-Mei 2024.

Secara konservatif, boleh dikatakan harga beras akan kembali stabil, tetapi tetap akan tinggi saat panen raya terjadi pada Mei 2024. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga beras ini bersifat temporer atau permanen? Menjawab pertanyaan ini kita harus melihat sisi produksi ataupun permintaan.

Apakah penurunan produksi sepanjang 2023/2024 ini bersifat permanen atau hanya temporer karena pengaruh El Nino? Atau ada persoalan stagnasi produktivitas selama 10 tahun belakangan ini? Data indikator produksi BPS yang dikeluarkan tahun lalu menunjukkan produksi pangan secara keseluruhan menurun secara persisten.

Produksi pangan tahun 2022 hanya 97 persen dari tahun 2000. Penurunan produksi terjadi pada semua komoditas pangan dan penurunan produksi padi kontributor utama penurunan ini. Produksi tahun 2022 hanya 20 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2000.

Karena tanaman pangan ini kebanyakan ditanam di lahan yang sama, bisa jadi ada persoalan serius dengan tingkat kesuburan tanah. Belum lagi pengaruh luas baku sawah yang tidak bisa dihindari akan menurun sejalan meningkatnya kebutuhan lahan untuk infrastruktur, perumahan, atau industri.

Jadi, jawaban atas pertanyaan penyebab kenaikan harga beras mengarah pada masalah struktural, yang jika tak diatasi akan berulang dan dapat memburuk dari waktu ke waktu.

Sebetulnya, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi)---masing-masing dua periode---tidak tinggal diam. Anggaran untuk meningkatkan produksi pertanian pun meningkat dramatis melalui berbagai pos anggaran, mulai dari alokasi untuk Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, hingga dana alokasi khusus (DAK) khusus pertanian atau pos subsidi.

Pada periode kedua pemerintahannya (2009-2015), SBY mengalokasikan anggaran Rp 368,5 triliun, meningkat dari periode pertama Rp 100,2 triliun. Selama 10 tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi juga meningkatkan alokasi anggaran untuk ketahanan pangan dan pertanian menjadi dua kali lipat dibandingkan era SBY, yang sebagian besar dibelanjakan pada periode pertama.

Dalam periode kedua, karena kebutuhan pembiayaan terkait Covid-19, alokasi ini mengalami penurunan. Sayangnya, ada sekurang-kurangnya dua persoalan dalam alokasi ini.

Pertama, inefisiensi dalam alokasi belanja tambahan pemerintah ini. Sebagian dana tambahan ini digunakan untuk subsidi pupuk yang diperkirakan memberikan kontribusi pada penurunan kesuburan tanah ini. Sebagian lagi untuk pembukaan lahan baru, seperti di Kalimantan, yang mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan pada era Soeharto.

Kedua, inefisiensi internal dalam belanja pemerintah, yang terjadi di hampir semua pos anggaran. Sebagian tambahan belanja ini banyak digunakan untuk perjalanan dinas yang tak banyak berkontribusi pada peningkatan produksi.

Data Susenas menunjukkan bukti empiris yang kurang lebih sama dengan yang diprediksi oleh teori ini. Konsumsi beras rata-rata per kapita telah menurun menjadi 84 kg per tahun (2022) dari 143 kg per tahun (2000). Penurunan ini terjadi untuk semua kelas pengeluaran rumah tangga (RT).

Survei Biaya Hidup 2022 yang menjadi basis penghitungan pengukuran inflasi pun mencatat timbangan beras dalam IHK tinggal 3,4 persen sehingga pergerakan harga beras yang terjadi belakangan ini tidak banyak terpengaruh pada inflasi.

Namun, pada saat yang sama terjadi peningkatan kualitas beras yang diminta oleh RT dan jenisnya makin heterogen tergantung pada selera lokal.

Peningkatan kualitas beras yang diminta menyebabkan porsi anggaran untuk konsumsi beras untuk kelompok RT desil terbawah dan dua desil di atasnya masih cukup besar, yaitu 11 persen dari total bundel pengeluaran mereka. Kenaikan harga beras ini akan menyebabkan kenaikan beban yang besar pada kelompok ini. Penurunan kesejahteraan akan langsung terjadi untuk kelompok ini dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang akan terjadi apa yang dinamakan hysteresis effect, yakni kelompok RT yang terkena dampak ini akan mengurangi konsumsi atau investasi lain, seperti pendidikan atau kesehatan, sehingga berdampak pada kemampuan dan kapabilitas penduduk miskin dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan mengembangkan diri di masa datang.

Kemungkinan lain, RT miskin akan melakukan substitusi energy intake ke sumber kalori yang lebih murah.

Jika beras masih lebih murah dibandingkan sumber energi lain, keluarga miskin ini akan mengurangi konsumsi protein, vitamin, ataupun mineral. Walaupun penurunan jenis komoditas makanan ini bersifat sementara, dampaknya akan bersifat permanen, terutama untuk anak balita dan wanita hamil (Block et al, 2004).

Coping mechanism seperti ini akan sekali lagi memengaruhi kemampuan kognitif dan menyebabkan RT terjebak perangkap kemiskinan (Carter et al, 2007). Studi terbaru IFPRI menunjukkan kenaikan 5 persen harga riil beras akan meningkatkan risiko penurunan berat badan anak (wasting). Risiko akan meningkat lebih besar untuk anak laki-laki dan anak yang berasal dari keluarga miskin.

Negara-negara produsen beras enggan membuka keran ekspor, terutama India yang menghadapi pemilu. Mau tidak mau kita harus mengupayakan agar produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Strategi ini pada dasarnya mengulang sukses Revolusi Hijau generasi pertama dengan sejumlah perubahan penting untuk mengatasi dampak samping dan berbagai tantangan ke depan. 

Terobosan kelembagaan lain yang perlu dilakukan adalah "korporatisasi" dalam berbagai proses bisnis produksi beras termasuk corporate farming atau proses penyuluhan. Secara tradisional, proses penyuluhan dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Korporatisasi perlu transformasi sejumlah BUMN, seperti Pupuk Indonesia yang akan membantu petani. Proyek percontohan seperti program Makmur yang diinisiasi Pupuk Indonesia perlu diperluas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun