Masih pada bab yang sama, Menurut Ibu Neng jika kita mengkaji Kepemimpinan Perempuan dan Otonomi diri menggunakan teori sosialisasi politik maka akan didapati, bahwa keluarga dan orang tua adalah penentu utama anak untuk terlibat dalam kehidupan politik.Â
Seiring perkembangan hidup seseorang, peranan kelompok sepergaulan semakin menentukan sikapnya dimasa mendatang. Persoalannya tergantung kelompok mana yang dominan memengaruhi orang tersebut. Kendala-kendala yang ditemui pada kepemimpinan perempuan yang pertama adalah ganjalan Teoligis.Â
Kedua, perdebatan alam bawah sadar kolektif masyarakat (Lelaki sejak kecil telah tersosialisasi untuk menjadi penguasa bahkan hingga cakup paling kecil seperti keluarga). Ketiga, bagaimana cara membentuk kembali sebanyak mungkin pemimpin perempuan Islam dalam berbagai ranah kehidupan.
Pada bagian "Kepemimpinan Perempuan Andai Megawati menjadi presiden", Ibu Neng menjelaskan bahwa boleh jadi kebutuhan rakyat akan kepemimpinan yang menekankan aspek feminitas merupakan sebuah anti-tesis dari pola kepemimpinan yang patriarki.Â
Independensi, kekuatan visi, dan integritas pribadi nampaknya menjadi faktor yang amat vital bagi seorang pemimpin, ini berlaku universal baik laki-laki maupun perempuan.Â
Ibu Neng mengedepankan aspek feminitas dalam kepemimpinan perempuan semata-mata agar ada keseimbangan nilai dalam penerapan mekanisme kekuasaan.
Bagian berikutnya Ibu Neng dalam tulisannya turut menyinggung permasalahan politik, etika dan perempuan, yang menurutnya kesan bahwa politik kotor timbul sudah lama sejak dalam alam yang apolitis, yang dimaksudkan selama 32 tahun lamanya kita dianjurkan untuk menjadi orang 'baik-baik' saja atau maksud lebih jelasnya ialah orang yang patuh begitu saja terhadap penguasa dan menjadi orang yang 'baik' menurut keinginan penguasa.Â
Perempuan pada waktu itu diatur sedmikian rupa oleh alat negara yang bernama Dharma Wanita. Jika pun ada pemimpin perempuan yang menonjol, maka akan disingkirkan sekuat-kuatnya ke luar arena. Untuk menutupi bahwa negara ini bukan negara berbasis patriarki, maka diangkatlah menteri peranan wanita.
Berkaitan dengan permasalahan sebelumnya, bahwa otonomi daerah juga diharapkan turut membantu mengembangkan atau menggali potensi perempuan yang ada disetiap daerah. Akhir Pembahasan pada bab pertama, Ibu Neng kembali mengenang sosok yang sangat menginspirasi dirinya, yakni Nenek Ibu neng yang bernama H. Siti Masyitoh.Â
Menurut Ibu Neng, Neneknya merupakan seorang yang disebut "Indigenous Feminis", yakni feminis yang tumbuh dari masyarakat lokal dan berbasis pada interaksi sehari-hari dalam kehidupan nyata seorang perempuan tanpa menyadari, mengenal, dan menyebut dirinya feminis.
Bagian Tengah, BAB 2 "ISLAM DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN"