Fondasi utama seluruh ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Tauhidlah sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan melakukan lebih banyak keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat masa kini.[1]
Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukakan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.
Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara benar adanya. Manusia hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syari’ah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu, Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS: Al-Jatsiyah 18).[2]
Sehingga tauhid bisa di katakan berkaitan dengan prinsip ekonomi islam, di karnakan tauhid adalah sistem pertama yang di gunakan sebagai tolak ukur untuk menjalankan sebuah prinsip ekonomi. Salah satu sebagai contohnya pengambilan keuntungan, di bank biasa atau bank konvensional pengambilan keuntungan di jalankan dengan sistem bunga, sedangkan di bank syariah sistem pengambilan keuntungannya menggunakan sistem ekonomi islam, yaitu sistem bagi hasil.[3]
Dengan demikian, setiap pengelolaan sumber daya dan setiap cara dan usaha mencari rezeki harus sesuai dengan aturan Allah. Demikian pula membelanjakannya seperti spending, investasi dan tabungan harus sesuai dengan syari’ah Allah. Inilah implikasi dari konsep tauhid atau teologi ekonomi Islam.
Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, menggunakan sarana dan sumber daya sesuai syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor bertitik tolak dari tauhid ( keilahian ) dan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah guna mencapai ridha Allah.[4]
Sehingga ketika seorang muslim hendak membeli, menjual, dan meminjam, ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap. Itu di larang di karenakan melanggar syariat-syariat islam.[5]
[1] Journal of Islamic Economics Vol 3, No 1: Januari 2011
[2] Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Human Falah: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam | Vol. 2 | No. 2 | 2015
[3] Arif Hoetoro, Ekonomi Islam, (Malang:Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya,2007)Hal:58
[4] Azizy Qodri, Membangun Fondasi Ekonomin Umat (Yogyakarta pustaka pelajar, 2004), hlm. 202.
[5] Kahf Monzer, Ekonomi slam (Yogyakarta : pustaka pelajar, 1995). Hlm. 301.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H