Mohon tunggu...
Dhandhang Gulo
Dhandhang Gulo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

semangat persahabatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keras Kepada Anak, salahkah?

5 April 2013   15:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:41 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sebuah status dari sebuah account facebook tentang seorang ibu yang menampar pipi anaknya di sebuah pusat perbelanjaan, dalam hati timbul rasa kasihan dan juga penasaran. Kasihan sebagai ungkapan prihatin atas kejadian yang menimpa si anak. Penasaran karena tidak tahu alas an apa sehingga si ibu tega menampar anaknya. Pemilik account facebook tersebut tidak menyebutkan kronologi yang melatarbelakangi kejadian itu, atau alas an yang menyebabkan si ibu harus menampar anaknya.

Bagi si anak, hal ini merupakan pengalaman buruk. Dalam hati pasti timbulpertanyaan mengapa ibunya tidak saying padanya. Atau mungkin, lebih parah, akan timbul trauma (seperti kata para pakar pendidikan jaman sekarang).

Bagi si ibu, ia berpendapat perlakuan itu merupakan bentuk perhatian dan kasih saying pada anaknya. Semua orang pasti tahu bahwa semua ibu di dunia ini pasti menyayangi anak-anaknya. Seorang ibu akan selalu melindungi, mendidik dan mengarahkan anaknya ke jalan yang benar. Dalam implementasinya, tidak hanya pujian dan sanjungan serta sikap serba membolehkan atas segala tindakan dan perilaku anak. Namun ada kalanya dibutuhkan hukuman dan sikap yang “keras” apabila toleransi yang telah diberikan kepada anak tidak juga membuat si anak beranjak menuju jalan yang benar.

Sudah banyak berita dimedia massa yang memuat tindakan orang tua, bahkan seorang pendidik yang memperlakukan anak dengan cara yang “kasar/keras”. Dan begitu berita itu dimuat maka sontak public akan menjatuhkan vonis bersalah kepada pelakunya, dengan tanpa mau tahu ada apa dibalik kejadian itu. Yang ada hanyalah pelaku akan dihujani kritik dan teror psikologis serta dicap sebagai orang tua/pendidik yang kejam dan tak bisa mendidik anak. Sedangkan si anak akan panen simpati sebagai bentuk “solidaritas” dari masyarakat.

Menurut para pakar pendidikan jaman sekarang, pola pendidikan dengan kekerasan adalah merupakan pola pendidikan yang salah. Menurutnya, orang tua/pendidik itu harus selalu bersikap santun, bertutur lembut, berperilaku sopan, dan wajah selalu ramah.

Haruskah seperti itu?

Mungkin dalam kondisi normal, dalam arti si anak juga bersikap santun, hal itu benar. Tapi bagaimana kalau si anak sudah beberapa kali diberi peringatan dan diarahkan tetapi tetap juga tidak berhasil.

Dulu ketika masih di sekolah dasar, perilaku guru yang melempar kapur dan mengenai kepala murid adalah hal yang wajar. Si murid tidak lapor kepada orang tua, dan orang tua yang mengetahuipun juga tidak protes. Coba hal itu terjadi sekarang! Pasti beritanya akan heboh. Tapi apa jadinya anak sekarang? (Memang tidak semuanya) anak yang “badung”. Susah sekali memberi pengertian kepada anak. Ketika sebuah kesalahan di maafkan, maka akan berbuat kesalahan berikutnya. Lalu ketika pada kesalahan yang kesekian, trus diberi tindakan yang keras, apakah hal itu salah?

Saya juga tidak setuju dengan tindakan kekerasan. Kekerasan bukanlah solusi utama, tetapi hanyalah sebuah alternative bila pilihan pertama (dengan kelembutan) tidak membuahkan hasil. Hukuman ukanlah bermaksud untuk mendholimi anak, tetapi bagian dari pendidikan dan bentuk kasih sayang orang tua kepada anak. Tentunya hukuman harus proporsional, tidak membuat si anak menjadi trauma. Cukuplah hanya sekedar rasa sakit sedikit yang membuat anak tahu bahwa rasa sakit itu ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun