Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan Humaniora

Mengajar di SMP Negeri 1 Bunguran Selatan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Geger Masalah Label. Pelabelan Peserta Didik, Perlukah? Oleh : Agung Setiawan

15 Maret 2022   20:53 Diperbarui: 16 Maret 2022   01:00 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa tahun yang lalu ketika masih sekolah, tentunya kita akan merasa sangat senang dan sekaligus takut saat momen pembagian rapor. Senang jika nama kita dipanggil menjadi juara, dan takut jika nama kita tidak disebut lagi menjadi juara atau gagal untuk mempertahankan juara yang sebelumnya sudah diraih. Momen pembagian rapot semakin hingar-bingar karena biasanya diumumkan di halaman sekolah menggunakan pengeras suara diiringi dengan riuhnya tepuk tangan.

Kita yang mungkin masuk dalam kategori tiga besar setiap pembagian rapor pasti merasakan hal tersebut. Dan penulis yakin salah satu dari sekian pembaca mungkin merasakan hal yang sama. Rasa bangga bercampur haru atas pencapaian dan juga perjuangan belajar selama tiga atau enam bulan akhirnya bisa terbayar dengan ucapan selamat dan tepuk tangan dari guru-guru, teman-teman serta orang tua.

Namun, kira-kira bagaimana dengan nasib teman-teman yang lain? Teman-teman yang duduk di bangku paling belakang? Teman-teman yang sengaja "ngumpet" karena takut ditunjuk gurunya ketika proses pembelajaran? walaupun sama-sama belajar di kelas yang sama, menggunakan metode yang sama, bahkan dengan guru yang juga sama, mengapa lingkaran tiga besar saat itu seringkali stuck dan sering kali tidak pernah berubah? 

Bukan hanya lingkaran tiga teratas, lingkaran tiga terbawah dari perangkinganpun seperti jalan di tempat, tidak pernah bergerak dengan susunan nama yang sama dari tahun ke tahun bahkan hingga lulus sekolah.

Penulis melihat  langsung bagaimana banyak kawan-kawan yang dalam kategori tiga terbawah tadi akhirnya frustasi, lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena mereka merasa tidak mampu bahkan takut untuk mengikuti pembelajaran. 

Kawan-kawan yang dalam kategori penghuni "rangking buncit" yang akhirnya menjadi semakin tidak percaya diri karena sebuah "label" yang membuat mereka semakin hari semakin yakin bahwa mereka memang manusia abkiran, tidak berguna, dan sumber petaka di kelas. Sebuah "label" yang disematkan oleh sistem pendidikan yang jelas efeknya tidak baik-baik saja baik ditinjau dari jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.

"Pelabelan" yang sifatnya hanya menilai dari satu sisi, akhirnya seperti buah simalakama. Disatu sisi dapat membangkitkan semangat, namun disisi lain juga dapat melemahkan peserta didik yang dalam kategori lain. 

Fenomena depresi penghuni "rangking buncit" diperparah dengan sistem pembelajaran yang cenderung kurang mampu mengakomodasi seluruh peserta didik. 

Sistem pendidikan saat itu seolah mengajarkan kita untuk sangat individualis, perfeksionis dan tidak peduli dengan orang lain. Saat itu, jarang sekali tugas-tugas yang diberikan guru outputnya dapat melatih peserta didik untuk kolaborasi, bekerjasama, melatih empati dan tolong menolong. Padahal di dalam kehidupan nyata kita tidak mungkin tidak berkolaborasi, tidak mungkin tidak membutuhkan orang lain, dan tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun saat itu sistem seolah mencetak sebaliknya.

Sekarang mari kita ingat-ingat, saat Sekolah Dasar mungkin dulu kita sering membuat sekat-sekat buku di meja ketika mengerjakan tugas. Tujuannya agar tugas yang kita buat tidak ditiru oleh kawan sebangku bukan? Jangankan diajari bagaimana cara untuk membantu kawannya yang kesulitan, bahkan kita akan merasa sangat bahagia jika kawan sebangku nilainya lebih kecil dari kita.

Namun anehnya banyak anak-anak golongan "elit" yang dulu cenderung perfeksionis dan individualis ini akhirnya gagal dalam kehidupan nyata. Banyak anak-anak golongan  tadi kini hidupnya tidak lebih baik dari anak-anak golongan "buncit" yang dulunya dianggap sumber petaka di kelas atau bahkan di sekolah. Hingga akhirnya timbulah fenomena dalam media sosial"dulu yang ranking satu sekarang sudah jadi apa?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun