Beberapa waktu lalu muncul foto dan video di media sosial tentang bencana alam berupa gempa bumi di Cianjur. Video itu berupa pencopotan label penyumbang di  tenda-tenda pelindung. Pasca gempa bumi dan kebetulan sekarang musim hujan, para korban memang sangat memerlukan tenda untuk melindungi diri agar nyaman dan tenang sementara rumah mereka sudah porak poranda dan secara psikologis mereka belum pulih.
Label penyumbang dicopot oleh beberapa ormas itu karena sang penyumbang adalah gereja dalam hal ini gereja Reformis Injili. Bagi orang yang berkecimpung di ranah sosial, tentu maklum bahwa label di barang sumbangan adalah hal normal. Selain untuk identifikasi juga untuk keperluan administrasi bagi pihak donatur. Apalagi jika melibatkan dana yang besar, tentu pihak donatur akan meminta pertanggungjawaban yang sahih soal sumbangan mereka.
Aksi pencopotan ini dilakukan oleh ormas tertentu yang pastilah sempit secara sosial. Runyamnya, aparat  memberikan keterangan bahwa pencopotan itu bukan merupakan aksi intoleransi, dan ada lima dari mereka yang sudah dimintai keterangan.
Gubernur Jawa Barat dalam hal ini Ridwan Kamil, mengecam tindakan ini. Dia mengatakan bahwa bencana tidak memilih-milih orang, ras, warna kulit bahkan keyakinan. Bencana alam bisa terjadi di Amerika Serikat, Rusia, Malaysia, Kepulauan Salomo, termasuk Indonesia yang punya berbagai lempeng geologi yang memang rentan terjadi gempa. . Sehingga orang atau pihak yang terketuk hatinya memberikan sumbangan itu layak dihargai.
Kita semua mungkin sepakat dengan Gubernur Jawa Barat. Bencana itu tidak memilih korban, baik bencana alam maupun bencana non alam. Covid -19 adalah bencana non alam yang bisa kita jadikan contoh nyata dimana bencana memang tidak memilih warna kulit, bahasa, maupun agama. Awalnya muncul di bangsa berkulit kuning dan beraliran- maaf komunis-(meski di China banyak orang beragama Budha maupun Kristen), lalu menyebar ke seluruh dunia. Eropa yang punya teknologi kedokteran yang cukup canggih juga dan mayoritas berkulit putih juga tidak bisa menahan pesebaran irus mematikan itu.
Asia termasuk Arab Saudi yang mayoritas berkulit coklat dan beragama Islam juga mengalaminya. Arab malah harus menutup ibadah haji dan umroh dari umat muslim seluruh dunia selama dua tahun. Bukan hanya materi yang dirugikan tapi juga psikologis para calon Jemaah yang sudah bersiap menuju tanah suci. Indonesia juga terkena dampak itu.
Ada juga pihak yang menilai bahwa rangkaian bencana ini karena kita tidak menerapkan system khilafah dalam negara kita dan negara Arab sehingga muncul bencana ini. Tentu ini adalah pola pikir ngawur dan tidak bertanggung jawab. Secara keilmuan negara kita memang rentan terhadap gempa karena merupakan wilayah pertemuan lempeng bumi sehingga bencana seperti ini memang kerap terjadi. Sedangkan Arab karena system drainase yang kurang sempurna ditambah curah hujan yang terus menerus sehingga wilayah itu sulit menampung air dalam jumlah banyak.
Marilah kita menyikapi setiap kejadian termasuk bencana dengan arif dan bijaksana. Jangan bertindak gegabah dan tidak menghargai banyak pihak. Merusak tenda bukan hanya tidak menghargai pihak pemberi, lebih jauh lagi tidak menghargai para korban yangb tidak berdaya dan memerlukan tenda itu, karena pasca pencopotan label, tenda itu rusak dan bocor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H