Banyak orang kecewa ketika banyak kampus dan beberapa pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak setuju dengan demonstrasi mahasiswa beberapa waktu lalu.Â
Mereka mengemukakan bahwa demonstasi bukan solusi tepat untuk perjuangan dan idealisme mereka. Terbaru adalah demo terhadap UU Omnibus Law yang juga dinamakan UU Ciptakerja itu ditujukan untuk memperingkas beberapa hal soal investasi di Indonesia. Para mahasiswa dan pekerja kawatir bahwa UU itu akan menyulitkan pekerja dan merusak lingkungan Indonesia.
Beberapa demonstrasi yang terjadi dan melibatkan mahasiswa (dan pekerja / buruh) memang jauh dari keinginan pendemo. Setahun lalu ketika moto#GejayanMemanggil viral di media sosial sebagai tanda memulai demonstrasi di wilayah Yogyakarta, demo yang menentang pengesahan Revisi UU KPK dan KUHP itu merembet ke banyak universitas di berbagai kota semisal Jakarta, Bandung, Surabaya dan sebagainya. Sayangnya demo itu harus dinodai dengan gerakan anarkisme di Jakarta, seperti lempar-lempran batu ke petugas, pembakaran ban dll. Bahkan setelah demo utama, muncul beberapa demo lanjutan yang melibatkan siswa SMK dan menengah yang sejatinya tidak mengetahui apa 'roh' demo yang mereka lakukan itu.
Hal itu juga yang mewarnai demonstrasi yang dilakukan mahasiswa bersama para buruh soal UU Omnibus Law. Demo ini begitu brutal karena merusak banyak sekali fasilitas umum seperti halte bis dan pos polisi. Yang lebih menyedihkan lagi demo yang lebih lama dari demo UU KPK dan KUHP ini dilakukan di tengah-tengah pandemic Covid-19 yang amat menular dan ditakuti banyak orang di dunia.
Banyak kampus yang menutup diri soal demo itu. Kenapa ? Karena menurut mereka, aspirasi pemuda itu bisa disalurkan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kita tahu bahwa pemuda adalah komponen utama bangsa di dunia . Banyak pihak menumpukan harapan mereka kepada para pemuda dengan segala prespektifnya untuk membawa perubahan di masa mendatang. Mereka juga dinilai cukup mumpuni untuk memberikan aspirasi karena bekal keilmuan dan jiwa pejuang mereka itu.
Para pemuda, terutama mahasiswa sebenarnya bukan kaum millenials lagi karena mahasiswa dengan umur sekitar 18-21 masuk katagori generasi Z yang merupakan generasi lebih baru dibanding millenials. Z lebih jujur dengan apa yang mereka ungkapkan karena mereka lebih realistis dibanding millenials. Tapi sebuah perjuangan harus mengandalkan idealism dan dialektika berfikir bukan?
Kita bisa belajar dari kaum pemuda pada masa awal abad 21 ini, yaitu para pemuda yang menelurkan Sumpah Pemuda. Mereka pada situasi dimana perjuangan fisik masih menjadi hal pertama dilalukan rakyat Indonesia, seperti beberapa perang di Jawa, pemberontakan melawan politik tanam paksa dan beberapa penindasan yang dilakukan kaum penjajah.
Namun para pemuda itu mengubah perjuangan dari perjuangan fisik ke perjuangan idealisme. Mereka membuat surat kabar dan menggunakan media radio sebagai alat perjuangan. "Perang" pada taraf idealisme itu membuat para pemuda seperti Soekarno dan Hatta dan beberapa tokoh pemuda lain dibuang oleh Belanda. Pembuangan itu ke wilayah yang seringkali terpencil, seperti di Bengkulu, Boeven Digul, ke wilayah NTT dan lain-lain. Namun ternyata itu tidak membuat mereka surut atas idealism mereka. Puncaknya mereka mengikrarkan persatuan dalam Sumpah Pemuda yang merupakan pemicu kemerdekaan Indonesia. Mereka melawan gagasan Belanda dengan gagasan cerdas yang bisa menghantarkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Generasi Z dan sebagian generasi millenials sebaiknya mengingat masa itu untuk menginspirasi langkah-langkah dalam perjuangan kalian. Millenials dan Z seharusnya membuat perlawanan terhadap narasi radikal, provokasi dan anarkisme. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memerangi tiga hal itu. Lawanlah gagasan dengan gagasan yang lebih cerdas.
 Jangan membuat demo yang disertai anarki yang tidak mencerminkan intelektualisme kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H