Puan Maharani  sempat dikritik karena  dianggap keliru cara menanam padi di sawah. Dalam satu acara ramah-tamah dengan petani.
Terlepas dari polemik  cara menanam yang baik dan benar, sejatinya momen itu terasa kurang pas. Historis Puan dalam pembelaan hak atau kesejahteraan petani masih kurang kental. Kesan asal pulasnya malah yang menguat.
Daripada turun ke sawah apakah tidak lebih baik turun tangan membela begitu banyak kasus perempuan dan anak akhir-akhir ini yang sangat marak.
Kita memiliki kesempatan dan potensi besar untuk itu.
Selain putri Megawati tersebut, ada pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Ibu Negara Presiden dan Wakil Presiden. Mereka bisa menjadi pressure power untuk mengkritisi banyak permasalahan seperti peradilan yang timpang, vonis ringan pelaku pemerkosa, atau malah kasus menguap.
Di bawah struktur mereka ada para ibu gubernur, bupati, dan walikota. Ke bawahnya lagi ada ibu-ibu camat, kepala desa, kadus, hingga RT/RW. Ke struktur samping ada juga jejaringnya. Dahsyat sekali jika mereka sudah bergerak.
Di Brebes bisa-bisanya LSM jadi lembaga peradilan partikulir yang memalak puluhan juta dari pihak pelakuagar bisa bebas. Di Blora ada korban disabilitas menjadi korban asusila selama beberapa periode jabatan Kapolres. Di Kemenkop juga ada kasus ganjil seperti itu dengan korban pihak perempuan.
Hari ini ada berita kasus asusila di Mojokerto dengan korban anak TK dan pelakunya anak SD. Di Pasar Rebo balita tewas karena penganiayaan setelah jadi agunan utang. Wah. Kehabisan kata-kata.
Korban anak-anak; banyak kasus di mana mereka akan segera beranak atau sudah. Di Jatim ada 15.000-an kasus permohonan dispensasi pernikahan dini. Bagian Jawa yang lain dan luar Jawa berapa totalnya.
Di rumah. Di sekolah. Bahkan pesantren dan rumah ibadah. Ada fenomena yang tampak begitu absurd.
Tak perlu mencari kambing hitam dulu. Atau membuat pernyataan berapi-api. Cukup bergerak mengunjungi dari korban ke korban. Hinggap ke kasus ini dan itu. Tanpa bicara pun, aksi mereka sudah akan menimbulkan pembicaraan. Diskursus massif lintas lapisan: apa dan bagaimana solusinya.
Sejauh ini beberapa kasus yang diangkat di medsos --dengan slogan: viral dulu baru kerja-- tampak bahwa buzzer-nya adalah kaum Adam. Di Kemenkop yang berbicara lantang juga cowok: Menkopolhukam.
Bukannya menolak emansipasi laki-laki. Tetapi dengan posisi, power, fasilitas, dan kesempatan yang dimiliki, Puan bersama menteri dan Ibu Negara bisa memberikan sumbangan perhatian yang luar biasa.
Dulu Kartini begitu gigih berjuang agar perempuan tidak buta huruf. Tanpa pamrih. Hanya gelisah. Ia terlihat sangat tidak senang jika kaumnya terpinggirkan. Sekarang kaum marjinal yang diperjuangkan itu sudah mampu menduduki kursi presiden dan ketua parlemen.
Dari sudut pandang politik pemilu, apakah ada manfaatnya untuk meningkatkan elektabilitas? Bisa saja. Siapa tahu dengan pembelaan yang dilakukan militan maka publik akan terbuka mata dan menjatuhkan pilihan.
Namun apa pula perlunya menyoal  itu jika dengan keikhlasan pahala akan didapat. Dan karunia kehidupan yang lebih ramah bagi perempuan dan anak-anak. Adakah yang lebih baik dari itu?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H