Kemarin terjadi  gempa skala M 5,6 di Cianjur dengan jumlah korban 268 jiwa plus ribuan rumah dan bangunan hancur (Kompas.com, 22/11/2022).Â
Jumlah korban jiwa dan kerusakan di Cianjur itu sangat besar. Jika kita proyeksikan dengan wilayah yang populasi penduduk dan gedung bertingkatnya lebih padat, jumlah itu bisa sangat besar.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa skala M 5,6 itu tidak terlalu besar. Namun akibat akumulasi beberapa faktor, gempa di Cianjur bisa menimbulkan kerusakan signifikan.
Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi kenapa jumlah korban gempa Cianjur cukup banyak. Faktor tersebut antara lain yaitu jenis gempa yang tergolong kategori  tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake), topografi wilayah yang tidak stabil, dan struktur bangunan yang tidak tahan gempa. Selain itu kesiapsiagaan warga menghadapi gempa mendadak juga perlu pelatihan dan sosialisasi.
Untuk mengukur tingkat kepedulian kita terhadap potensi bencana, kita bisa belajar dari Jepang yang menghadapi karakteristik bencana serupa dengan Indonesia.Â
Jepang tidak hanya berinovasi dalam teknologi anti-gempa tetapi juga secara bertahap dan berkelanjutan menerapkan regulasinya sejak hampir seabad lalu.
Sejarah gempa berulangÂ
Indonesia dan Jepang berada di kawasan cincin api Pasifik dengan sejumlah gunung berapi dan lempeng tektonik yang aktif. Tiap tahun terjadi ribuan kali gempa akibat aktivitas vulkanik maupun pergerakan lempeng tektonik.
Di wilayah Jawa Barat, pada tahun 2020 terjadi 2583 gempa menurut Open Data Jabar. Kemudian terkait gempa kemarin, catatan sejarah menunjukkan bahwa di kawasan itu memang rawan gempa.