Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Mengenal "Shin-taishin", Standar Bangunan Tahan Gempa di Jepang

23 November 2022   11:04 Diperbarui: 27 November 2022   11:45 4034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shinjuku Mitsui Building, salah satu contoh gedung tahan gempa di Tokyo, Jepang. Di bagian atas gedung ditempatkan beberapa bandul seberat 300 ton untuk menjaga keseimbangan struktur bangunan agar tidak kolaps (Foto: Planradar.com).

Kemarin terjadi  gempa skala M 5,6 di Cianjur dengan jumlah korban 268 jiwa plus ribuan rumah dan bangunan hancur (Kompas.com, 22/11/2022). 

Jumlah korban jiwa dan kerusakan di Cianjur itu sangat besar. Jika kita proyeksikan dengan wilayah yang populasi penduduk dan gedung bertingkatnya lebih padat, jumlah itu bisa sangat besar.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) gempa skala M 5,6 itu tidak terlalu besar. Namun akibat akumulasi beberapa faktor, gempa di Cianjur bisa menimbulkan kerusakan signifikan.

Setidaknya ada 3 hal yang mempengaruhi kenapa jumlah korban gempa Cianjur cukup banyak. Faktor tersebut antara lain yaitu jenis gempa yang tergolong kategori  tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake), topografi wilayah yang tidak stabil, dan struktur bangunan yang tidak tahan gempa. Selain itu kesiapsiagaan warga menghadapi gempa mendadak juga perlu pelatihan dan sosialisasi.

Untuk mengukur tingkat kepedulian kita terhadap potensi bencana, kita bisa belajar dari Jepang yang menghadapi karakteristik bencana serupa dengan Indonesia. 

Jepang tidak hanya berinovasi dalam teknologi anti-gempa tetapi juga secara bertahap dan berkelanjutan menerapkan regulasinya sejak hampir seabad lalu.

Sejarah gempa berulang 

Indonesia dan Jepang berada di kawasan cincin api Pasifik dengan sejumlah gunung berapi dan lempeng tektonik yang aktif. Tiap tahun terjadi ribuan kali gempa akibat aktivitas vulkanik maupun pergerakan lempeng tektonik.

Di wilayah Jawa Barat, pada tahun 2020 terjadi 2583 gempa menurut Open Data Jabar. Kemudian terkait gempa kemarin, catatan sejarah menunjukkan bahwa di kawasan itu memang rawan gempa.

Intensitas gempa Cianjur dan kepadatan populasi penduduk di sekitarnya (Grafis: Kompas.com/Laksono Hari Wiwoho).
Intensitas gempa Cianjur dan kepadatan populasi penduduk di sekitarnya (Grafis: Kompas.com/Laksono Hari Wiwoho).

BMKG menyebut sejumlah data di sekitar sesar Cimandiri itu sejak abad 19 lalu. 

Pada tahun 1844, 1879, 1910, 1912, 1969, 1982, dan tahun 2000 terjadi gempa dengan kerusakan yang cukup parah meskipun kekuatannya hanya kisaran skala M 5 hingga 6 saja. Tentunya data tersebut hanya secuil dari ribuan data bencana di seluruh Indonesia.

Data yang mirip di atas terjadi pula di Jepang dengan skala magnitude yang lebih besar. 

Tercatat beberapa gempa besar terjadi di negeri Sakura itu dengan skala di atas 7. Tahun 1891 terjadi gempa Mino-Owari dengan skala magnitude M 8. Kemudian gempa Kanto 1923, skala sekitar M 7,9 hingga 8,2. Berikutnya, gempa Fukui 1948 dengan skala M 7,1 dan gempa Miyagi 1978 dengan skala M 7,4.

Jepang tidak tinggal diam menghadapi insiden gempa-gempa tersebut. Pemerintah berpikir dan bersikap. Hasil pemikiran dan penyikapan kemudian melahirkan regulasi.

Penerapan regulasi bangunan tahan gempa

Akibat gempa Kanto 1923 di Jepang (Foto: Theatlantic.com).
Akibat gempa Kanto 1923 di Jepang (Foto: Theatlantic.com).
Mengutip dari laman Japan Property Central, berikut fase-fase terbitnya peraturan yang mengharuskan bangunan supaya tahan gempa sejak tahun 1924. Regulasi pertama muncul didorong oleh insiden gempa Mino-Owari dan Kanto.  
  • Peraturan bangunan tahan gempa mulai diperkenalkan, 1924. Menurut peraturan ini, syarat membuat bangunan di Jepang harus menggunakan kayu dengan ketebalan tertentu, beton bertulang, dan rangka peredam getaran. Peraturan ini hanya diterapkan di kota-kota saja.
  • Kyu-taishin atau Kebijakan Standar Bangunan, 1950. Kebijakan ini dipicu gempa Fukui yang mendorong pemerintah untuk menerapkan kewajiban bangunan tahan gempa di seluruh wilayah tanpa kecuali.
  • Amandemen peraturan penguatan fondasi beton untuk bangunan, 1971. Seluruh bangunan termasuk yang menggunakan struktur kayu harus memiliki fondasi beton bertulang.
  • Shin-taishin atau Amandemen Peraturan Baru Bangunan Tahan Gempa, 1981. Peraturan yang dipicu gempa Miyagi 1978 ini mewajibkan agar bangunan hanya boleh retak sedikit dan tetap berfungsi normal saat gempa menengah skala M 5 sampai 7. Untuk gempa skala M 7 ke atas atau skala Shindo 6 ke atas --yang jarang terjadi-- bangunan boleh rusak tetapi jangan sampai ambruk.
  • Revisi peraturan untuk bangunan kayu tahan gempa, 2000. Peraturan ini mewajibkan semua bangunan termasuk yang menggunakan kayu agar melakukan uji stabilitas tanah dan kecocokan struktur. Peraturan tambahan diterapkan untuk pemasangan bracing, fondasi, dan kerangka bangunan.
  • Jaminan garansi 10 tahun untuk setiap bangunan baru, 2000.
  • Pengetatan sertifikat dan pengawasan pembuatan bangunan, 2006. Amandeman ini terbit akibat skandal Aneha yang memalsukan data persyaratan bangunan tahan gempa. Berdasarkan amandemen ini bangunan tiga lantai atau lebih memerlukan pengawasan selama proses pembuatan. Bangunan dengan ketinggian tertentu juga harus mendapat reviu oleh pihak berwenang.

Dari kronologis tersebut kita melihat bahwa Jepang secara konsisten telah menerapkan dan melakukan sosialisasi pencegahan dampak gempa dalam waktu lama. 

Hampir seabad pemerintah mengatur pendirian gedung tahan gempa untuk meminimalisir jatuhnya korban dan kerugian.

Setiap peristiwa bencana tidak hanya mendapatkan penanganan sesaat yang bersifat kuratif. Untuk mencegah kejadian berulang, pemerintah membuat kajian ilmiah beserta legislasinya agar penerapannya memiliki dasar hukum yang kuat.


Shin-taishin code dan karakteristiknya

Berdasarkan tahun terbitnya kebijakan bangunan tahan gempa, bangunan di Jepang secara umum terbagi dua golongan.

Kelompok bangunan tahan gempa kyu-taishin untuk kode bangunan sistem lama yang berdiri sebelum terbit peraturan tahun 1981. Kemudian kelompok shin-taishin yaitu bangunan dengan kode konstruksi standar baru sesuai revisi dalam Amandemen 1981. Taishin artinya tahan gempa.

Pada saat terjadi gempa Hanshin 1995 berkekuatan M 7,3, populasi bangunan kyu-shin yang mengalami kerusakan  berat sebesar 8,4%. Jumlah tersebut sangat besar berbanding bangunan shin-taishin yang hanya menderita kerusakan sebesar 0,3%. Bangunan di luar dua kategori tadi tentu menderita kerusakan lebih banyak.

Metode konstruksi bangunan tahan gempa di Jepang berdasarkan regulasi Shin-taishin 1981 (Grafis: Japan Property Central).
Metode konstruksi bangunan tahan gempa di Jepang berdasarkan regulasi Shin-taishin 1981 (Grafis: Japan Property Central).

Kategori bangunan shin-taishin sendiri terbagi lagi menjadi 3 berdasarkan metode konstruksinya.

  • Taishin : standar minimal bangunan tahan gempa. Metode ini` menggunakan palang, pilar, dan dinding lebih tebal untuk memperkuat struktur. Umumnya taishin diterapkan pada bangunan rendah.
  • Seishin : kontrol getaran. Metode ini direkomendasikan untuk gedung tinggi dengan ketentuan penggunaan damper untuk menyerap getaran saat gempa.
  • Menshin : sistem isolasi dasar bangunan. Menggunakan sistem yang mengisolasi struktur bangunan dari permukaan tanah di bagian dasar. Sistem ini lebih aman karena mencegah rambatan energi saat terjadi pergerakan tanah. Namun demikian metode ini mahal biayanya dan bersifat opsional.

Soal biaya memang menjadi perhatian juga karena membuat bangunan tahan gempa itu memerlukan ongkos tambahan sekitar 20%. 

Oleh karena itu Jepang sangat antusias dalam pengembangan teknologi tahan gempa yang lebih efektif, efisien, dan murah. Sejauh ini dunia mengakui bahwa Jepang adalah yang paling terkemuka di bidang ini.

Shinjuku Mitsui Building, salah satu contoh gedung tahan gempa di Tokyo, Jepang. Di bagian atas gedung ditempatkan beberapa bandul seberat 300 ton untuk menjaga keseimbangan struktur bangunan agar tidak kolaps (Foto: Planradar.com).
Shinjuku Mitsui Building, salah satu contoh gedung tahan gempa di Tokyo, Jepang. Di bagian atas gedung ditempatkan beberapa bandul seberat 300 ton untuk menjaga keseimbangan struktur bangunan agar tidak kolaps (Foto: Planradar.com).

Membudayakan bangunan tahan gempa

Sebagai negara anggota kawasan cincin api, (pemerintah) Indonesia harus menyadari bahwa ancaman dan potensi bencana tekto-vulkanik beserta turunannya itu bersifat konstan. Jenis bencana ini tidak dapat dihindari seperti banjir atau kebakaran.

Namun demikian bukan berarti kita harus pasrah. Data yang terkumpul jangan menjadi bahan presentasi dan seminar saja. Demikian pula penanganan saat insiden bencana terjadi, jangan hanya sesaat untuk kemudian dilupakan.

Berkaca dari pengalaman Jepang, Indonesia perlu memulai untuk merancang regulasi bertahap agar bangunan di Indonesia lebih kebal terhadap lindu. 

Dimulai dari bangunan pemerintah dahulu sebagai model, sosialisasi untuk warga dilakukan secara terus menerus hingga menjadi kesadaran yang lebih permanen.

Dalam kasus gempa Cianjur sejumlah bangunan pemerintah ikut ambruk (Detik.com, 22/11/2022). Dalam kasus yang berbeda sering juga ditemukan kasus bangunan publik milik pemerintah ambruk atau rusak sebelum waktunya. Hal ini tentu sangat disayangkan.

Mudah-mudahan bencana gempa Cianjur saat ini tidak hanya menjadi tambahan input statistik saja. Eksekutif dan legislatif perlu menyikapi dalam bentuk rancangan pencegahan bencana jangka panjang yang lebih sistematis seperti di Jepang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun