Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tentang Bisyaroh yang Membuat Ketum PPP Suharso Monoarfa Lengser

5 September 2022   16:33 Diperbarui: 7 September 2022   01:39 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi bisyaroh yang lazim dilakukan di lingkungan pesantren tampaknya menghadapi masalah perbedaan tafsir dan pemaknaan. Salah satunya yaitu yang terjadi baru-baru ini di pucuk pimpinan PPP. Karena terpeleset lidah terkait ilustrasi pemberian amplop kepada pesantren sebagai sebuah keharusan, Ketum Suharso Monoarfa disomasi dan bahkan dilaporkan ke polisi. Tak lama terdengar kabar --hari ini-- beliau harus lengser dari jabatannya (Kompas.com, 5/09/2022).

Pemicunya yaitu pidato Suharso Monoarfa di gedung KPK, 15/8/2022, yang menyinggung perihal amplop/bisyaroh dalam sudut pandang sebagai sebuah problem (Kompas.com, 22/08/2022). Hal itu memicu ketidaknyamanan sebagian konstituen atau tokoh yang berujung desakan agar Kepala Bappenas itu mundur.  

Atas kesilapan yang terjadi, mantan Menteri Perumahan Rakyat ini sudah minta maaf. Namun tiga majelis di DPP PPP bergeming; surat pemberhentian untuk Suharso pun dilayangkan sampai yang ketiga kali pada 30 Agustus lalu. 

Permohonan maaf ternyata tak cukup sepadan untuk menebus kekeliruan. Sementara Suharso sendiri terlihat kurang begitu antusias mempertahankan diri atau posisi politiknya. Mungkin juga politisi senior partai Kakbah ini ingin fokus mengurus agenda-agenda kementerian yang diamanatkan Jokowi.

Soal kaitan dengan proses politik menjelang Pemilu 2024 memang bisa saja terjadi. Ditengarai ada dinamika internal partai penyintas era orde baru tersebut yang sudah tercium sejak Juni 2022 meski kurang terekspose.

Untuk meneruskan masa kepengurusan DPP PPP periode 2020-2025, posisi ketua umum dipegang oleh pejabat pelaksana tugas (Plt.), M. Mardiono. PPP tidak mengusik jabatan Suharso di kabinet; posisinya masih sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas hingga 2024.

Bisyaroh sebagai sebuah penghormatan

Memang sulit untuk membuat kerangka definisi bisyaroh yang sudah menjadi  tradisi dan dengan penerapannya  yang variatif. Dan tidak tertutup kemungkinan juga bahwa hal itu menjadi kerentanan ketika ada pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi.

Berdasarkan pengamatan penulis memberikan bisyaroh itu merupakan sebuah kebanggaan karena dapat memberikan penghormatan kepada sosok kyai pesantren.

Misalnya pada momen lebaran tahun ini saat penulis mudik setelah 2 tahun sebelumnya berturut-turut dicegat pandemi. Dalam kesempatan tersebut bersyukur bisa berjumpa dengan kawan lama setelah belasan tahun berpisah mengikuti nasib masing-masing. 

Pagi berikutnya bakda subuh, penulis ikut sowan ke rumah seorang guru mengaji. Beliau sudah sepuh, 80 tahun lebih. Saat berkunjung kami membawa buah tangan ala kadarnya, tetapi kawan saya memberikan amplop kepada tuan rumah. Seperti itulah bentuk bisyaroh. Sebuah praktik yang mirip ketika kita menyisihkan sedikit gaji untuk orang tua meskipun mereka bisa jadi lebih sejahtera secara materi. 

Secara bahasa, bisyaroh berasal dari bahasa Arab yang berarti kabar gembira. Bentuknya seperti angpao atau amplop dan kerena itu kadang rawan terjadi pembajakan makna misalnya untuk memperhalus istilah dalam praktik rasuah. 

Bisyaroh itu lebih kepada tanda ucapan terima kasih dari santri, orang tua santri, alumni, atau warga kepada kyai atau pengurus pesantren dalam bentuk bantuan uang seikhlasnya. Meskipun demikian bisyaroh bisa juga dimaksudkan sebagai gaji, insentif, atau honor dari lembaga/yayasan untuk para ustadz atau pengurus pesantren.

Bisa pula sebaliknya,  seperti yang terjadi antara Kyai Haris Shodaqoh dengan Kyai Maimoen Zubair atau Mbah Moen (alm.) seperti yang dikisahkan Mbah Ummi Malang (Nukita.id, 30 Juli 2017). Bukan dari Kyai Haris yang sowan; justru Mbah Moen sebagai tuan rumah yang memberikan bisyaroh kepada tamunya.

Jadi agak ribet memang untuk mendefinisikan secara saklek arti bisyaroh. Pada intinya lebih enak dianggap sebagai kabar gembira --dalam bentuk uang-- seperti artinya semula. Tradisi ini sudah ada dari dahulu sebelum bank merambah ke daerah-daerah dan pengurus pesantren tidak punya nomor rekening.

Sampai sekarang kebiasaan itu masih hidup sebagai bagian dari kultur pesantren tradisional. Kehidupan minim birokrasi yang mana segala sesuatu tidak selalu diukur menurut nilai nominal tertentu.

Kyai atau ustad tradisional banyak yang mengurus pesantren dengan sumber daya pas-pasan. Manajemen waktu pengelola terbagi antara mencari nafkah keluarga dan mengajar santri. Belum lagi kalau ada acara perayaan keagamaan seperti mauludan, tahun baru Hijriah, tujuhbelasan, dan lain-lain; yang pasti perlu anggaran.

Alhasil, untuk menjalankan roda operasional bagi pesantren yang belum mapan, jalur bisyaroh alumni atau masyarakat akan sangat membantu. Berbeda dengan pesantren-pesantren modern atau lembaga pendidikan Islam yang sudah tertata keuangannya. Secara kelembagaan mungkin sudah punya donatur tetap, dan dari siswa/santri biaya bulanan atau tahunannya sudah ditentukan.

Namun bukan berarti tradisi bisyaroh ini luntur di pesantren yang sudah maju. Seperti kebiasaan mengirim uang untuk orang tua atau angpao saat Imlek dan lebaran; tradisi bisyaroh di Indonesia punya jalur sendiri. Kearifan lokal yang tidak serta merta terkikis kebudayaan masa kini yang serba digital.

Bisyaroh dan suap berada pada ranah yang berbeda

Lantas apa yang bisa mengendalikan atau memisahkan antara bisyaroh konvensional dengan hukum atau aturan administrasi? Perlukah diatur besaran sumbangan dan mekanisme prosedural untuk mengaturnya?

Menurut penulis hal itu tidak perlu. Hukum atau lembaga hukum, misalnya KPK, bisa bergerak sesuai dengan acuan sendiri. Apakah itu hibah, gratifikasi, pemberian, atau suap tentu ada definisinya masing-masing. Sedangkan dari sisi kehidupan pesantren tentu ada mekanisme sosial --dan spiritual-- yang akan mengeliminasi bentuk-bentuk penyelewengan maksud baik bisyaroh.

Dalam  UU Nomor 20 tahun 2001 disebutkan bahwa sebuah pemberian bisa berarti suap jika berkaitan dengan penyelenggara negara dan ada tindakan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan.

Pasal 12B Ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001:

"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ."

Jelas sekali perbedaan makna bisyaroh dengan sebuah pemberian atas dasar pamrih yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Oleh karena itu dapat dipahami jika banyak pihak keberatan ketika makna bisyaroh yang sarat ketulusan dicampuradukkan ke ranah wewenang KPK dalam pemberantasan korupsi atau kasus penyuapan.

Yang jelas makna bisyaroh tak bisa dipukul rata sebagai sebuah pemberian biasa karena di dalamnya terkandung nilai penghormatan. Pandangan berkonotasi negatif seperti pemberian/gratifikasi dalam kasus-kasus yang sehari-hari dihadapi penyidik KPK berada pada ranah yang berbeda. Wallahu alam.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun