Pagi berikutnya bakda subuh, penulis ikut sowan ke rumah seorang guru mengaji. Beliau sudah sepuh, 80 tahun lebih. Saat berkunjung kami membawa buah tangan ala kadarnya, tetapi kawan saya memberikan amplop kepada tuan rumah. Seperti itulah bentuk bisyaroh. Sebuah praktik yang mirip ketika kita menyisihkan sedikit gaji untuk orang tua meskipun mereka bisa jadi lebih sejahtera secara materi.Â
Secara bahasa, bisyaroh berasal dari bahasa Arab yang berarti kabar gembira. Bentuknya seperti angpao atau amplop dan kerena itu kadang rawan terjadi pembajakan makna misalnya untuk memperhalus istilah dalam praktik rasuah.Â
Bisyaroh itu lebih kepada tanda ucapan terima kasih dari santri, orang tua santri, alumni, atau warga kepada kyai atau pengurus pesantren dalam bentuk bantuan uang seikhlasnya. Meskipun demikian bisyaroh bisa juga dimaksudkan sebagai gaji, insentif, atau honor dari lembaga/yayasan untuk para ustadz atau pengurus pesantren.
Bisa pula sebaliknya, Â seperti yang terjadi antara Kyai Haris Shodaqoh dengan Kyai Maimoen Zubair atau Mbah Moen (alm.) seperti yang dikisahkan Mbah Ummi Malang (Nukita.id, 30 Juli 2017). Bukan dari Kyai Haris yang sowan; justru Mbah Moen sebagai tuan rumah yang memberikan bisyaroh kepada tamunya.
Jadi agak ribet memang untuk mendefinisikan secara saklek arti bisyaroh. Pada intinya lebih enak dianggap sebagai kabar gembira --dalam bentuk uang-- seperti artinya semula. Tradisi ini sudah ada dari dahulu sebelum bank merambah ke daerah-daerah dan pengurus pesantren tidak punya nomor rekening.
Sampai sekarang kebiasaan itu masih hidup sebagai bagian dari kultur pesantren tradisional. Kehidupan minim birokrasi yang mana segala sesuatu tidak selalu diukur menurut nilai nominal tertentu.
Kyai atau ustad tradisional banyak yang mengurus pesantren dengan sumber daya pas-pasan. Manajemen waktu pengelola terbagi antara mencari nafkah keluarga dan mengajar santri. Belum lagi kalau ada acara perayaan keagamaan seperti mauludan, tahun baru Hijriah, tujuhbelasan, dan lain-lain; yang pasti perlu anggaran.
Alhasil, untuk menjalankan roda operasional bagi pesantren yang belum mapan, jalur bisyaroh alumni atau masyarakat akan sangat membantu. Berbeda dengan pesantren-pesantren modern atau lembaga pendidikan Islam yang sudah tertata keuangannya. Secara kelembagaan mungkin sudah punya donatur tetap, dan dari siswa/santri biaya bulanan atau tahunannya sudah ditentukan.
Namun bukan berarti tradisi bisyaroh ini luntur di pesantren yang sudah maju. Seperti kebiasaan mengirim uang untuk orang tua atau angpao saat Imlek dan lebaran; tradisi bisyaroh di Indonesia punya jalur sendiri. Kearifan lokal yang tidak serta merta terkikis kebudayaan masa kini yang serba digital.
Bisyaroh dan suap berada pada ranah yang berbeda
Lantas apa yang bisa mengendalikan atau memisahkan antara bisyaroh konvensional dengan hukum atau aturan administrasi? Perlukah diatur besaran sumbangan dan mekanisme prosedural untuk mengaturnya?