Kemerdekaan Indonesia dinyatakan Soekarno-Hatta --atas nama Bangsa Indonesia-- di Rumah Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah itu kini sudah rata dengan tanah, dibongkar atas perintah Presiden Soekarno sendiri pada tahun 60-an. Nama jalannya sekarang sudah berganti pula menjadi Jl. Proklamasi.
Rumah Proklamasi  sekarang menjadi pembicaraan setelah Ustad Adi Hidayat menyebut bahwa rumah tersebut adalah hibah dari keluarga Faradj Martak. Polemik itu sebelumnya pernah muncul tetapi sejarawan belum menemukan titik temu bagaimana persisnya peristiwa hibah itu.
Menelusuri jejak sejarah yang tercecer, Rumah Proklamasi ini ternyata akrab di kalangan pemuda pergerakan. Sebut saja tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin, Sugondo Djojopuspito, Amir Sjarifoeddin, Soediman Kartohadiprodjo dan dr. R. M. Soeharto.
Kecuali Soeharto, keempat tokoh pemuda yang disebut di atas merupakan mahasiswa RHS atau Rechtshoogeschool te Batavia yaitu sekolah cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Yamin dan kawan-kawannya kerap berdiskusi tentang masalah kebangsaan di rumah itu. Salah satu momentum penting yang kemudian terjadi adalah peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928.
Mengapa bisa terjadi diskusi kebangsaan di rumah itu?
Rumah Proklamasi dulunya ditempati oleh Prof. Frederik Mari van Asbeck atau Baron van Asbeck kira-kira tahun 1924 atau 1928 sampai tahun 1934. Selanjutnya rumah bergaya art deco itu ditempati Mr. Jhr. P. R. Feith, seorang pengacara, pada tahun 1935 sampai tahun 1942 (Tugu Proklamasi, wikiwand.com).
Van Asbeck ditunjuk sebagai guru besar di RHS sejak awal berdirinya tahun 1924 untuk mengajar mata kuliah Hukum Internasional dan Perbandingan Hukum Kolonial. Selain menjadi dosen RHS, Van Asbeck sebelumnya telah bekerja sebagai pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda di Bogor tahun 1919, yaitu sejak kedatangannya ke Hindia Belanda. Kariernya di pemerintahan berakhir tahun 1933.Â
Setelah Perang Dunia II Van Asbeck pernah dikirim beberapa kali ke Batavia (Jakarta) tahun 1945 dan 1946; kemudian sebagai panitia hukum untuk mengikuti antara lain Konferensi Meja Bundar tahun 1949 (Huygens Instituut, 2013).
Ada rumpang sejarah bagaimana dan kapan tepatnya Yamin dkk. mengadakan diskusi di Rumah Proklamasi.
Apakah keberpihakan Van Asbeck pada kebijakan emansipasi Cornelis van Vollenhoven yang mendekatkan dirinya dengan beberapa pemuda pergerakan yang juga mahasiswanya? Yu Un Oppusunggu dalam tulisan "95 Tahun FHUI" tidak membahas lebih jauh. Termasuk juga pertanyaan apakah Van Asbeck yang menginisiasi diskusi dengan kelompok Yamin di rumahnya
Jabatan lain yang disandang Prof. F. M. van Asbeck adalah pejabat perwakilan Tjandi Stichting atau Yayasan Tjandi.
Dokter Soeharto ketika menjadi mahasiswa GHS (Geneeskundige Hoogeschool, kelanjutan dari STOVIA dan cikal bakal Fakultas Kedokteran UI) juga kerap berjumpa dengan Van Asbeck.Â
Pada tahun 1928, Soeharto setiap bulan datang ke Pegangsaan 56 untuk mengambil uang beasiswa dari Yayasan Tjandi. Â Satu dari dua beasiswa selain dari Department van Onderwijs en Eredienst atau Departemen Pendidikan dan Agama (Historia.id, 17/8/2022). Lima belas tahun kemudian saat menjadi dokter pribadi Soekarno, dokter Soeharto sudah merasa tak asing lagi dengan rumah bersejarah tempat proklamasi tersebut.
Saat F. M. van Asbeck pulang ke Belanda tahun 1934 diketahui rumah Pegangsaan 56 kemudian ditempati oleh Jhr. P. R. Feith. Jika merujuk catatan bahwa Feith tinggal di sana tahun 1935 berarti ada jeda 1 tahun. Yang jelas pada masa pendudukan Jepang, Feith kemudian menjadi interniran (tahanan) Jepang.
Pegangsaan Timur 56 selanjutnya ditempati Soekarno setelah difasilitasi oleh Hitoshi Shimizu seorang staf Sendenbu atau Badan Propaganda Jepang. Sebagai pengganti, rumah yang masih dihuni keluarga Feith itu ditukar dengan rumah di Jalan Lembang yang masih berada di kawasan Menteng.
Tentara pendudukan Jepang menyediakan segala keperluan itu karena berkepentingan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno cs. yaitu sebagai perantara komunikasi/propaganda untuk rakyat Indonesia. Sebelumnya, Jepang mengatur penjemputan Soekarno dari Padang --setelah menjalani pengasingan Belanda di Bengkulu-- dan kemudian ditempatkan di Jakarta.
Soekarno sendiri mengajukan syarat yaitu ingin tinggal di rumah yang lapang dan berhalaman luas. Untuk memenuhi hal itu, Shimizu yang banyak membantu persiapan kemerdekaan Indonesia kemudian meminta bantuan dua orang pemuda, Chaerul Basri dan Adel Sofyan.
Dari beberapa pilihan yang ditawarkan, Soekarno ternyata lebih memilih rumah Jalan Pegangsaan 56 meskipun lokasinya dianggap kurang bergengsi dibanding rumah di Oranje Boulevard atau Van Heutsz Boulevard. Tujuan Soekarno memilih rumah di Pegangsaan Timur 56 yaitu agar dapat lebih banyak menampung tamu dan rakyat yang ingin bertemu. Jika kita lihat kondisi halamannya saat itu, memang rumah itu memungkinkan untuk menampung pengunjung dalam jumlah besar (Kompas.id, 17/8/2021).Â
Demikian keterangan sejarah menurut pengalaman Chaerul Basri dalam bukunya Apa yang Saya Ingat (2003). Menurut keterangan itu, hingga ditempati Soekarno pada tahun 1942, Rumah Proklamasi itu tampaknya belum berpindah tangan atau pemilik selain Mr. Feith dan sebelumnya F. M. van Asbeck.***
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI