Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menuju Net-Zero Emissions, Menepis Sampah Kemasan yang Tak Ramah Lingkungan

24 Oktober 2021   17:39 Diperbarui: 24 Oktober 2021   17:52 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembatasan sosial akibat pandemi berangsur surut  dan ekonomi mulai pulih. Banyak berkah tersembunyi di balik wabah selama hampir dua tahun ini. Satu di antaranya yaitu percepatan transformasi ekonomi digital. Namun demikian harus pula kita cermati adanya potensi bahaya lingkungan yang berjalan beriringan.

Berkaitan dengan lingkungan, pemerintah menargetkan bahwa selambat-lambatnya tahun 2060 Indonesia mencapai NZE, net-zero emissions atau nol-bersih emisi. Menurut IPCC, lembaga khusus PBB yang menangani  perubahan iklim, NZE adalah kondisi ketika emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia seimbang dengan pengurangannya. Impas.

Kerja keras perlu dilakukan karena target itu bertujuan mengerem laju pemanasan suhu lingkungan yang dipicu emisi 4 gas rumah kaca. Keempat gas tersebut  adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4), di-nitrogen oksida (N2O), dan ozon (O3).

Jika suhu global meningkat maka dampaknya akan memicu perubahan iklim. Bentuk ancaman yang menjadi  kekhawatiran antara lain mencairnya es kutub dan itu berarti bencana bagi Indonesia yang 2/3 wilayahnya berupa lautan. Ekosistem rusak dan cuaca sulit diprediksi.

The Intergovernmental Panel on Climate Change:

Net zero emissions are achieved when anthropogenic emissions of greenhouse gases to the atmosphere are balanced by anthropogenic removals over a specified period.  

Lantas apa hubungan antara emisi nol bersih dengan pandemi, ekonomi digital, dan sampah kemasan? Bagaimana posisi kita di antara kelindan hubungan itu?

Kemasan plastik

Bagi para pelaku ekonomi digital, mengemas paket dengan baik adalah skill yang perlu dimiliki. Sangat penting, apalagi toko online yang menjual  barang rentan pecah/ hancur seperti makanan dan barang gerabah.

Jika pengemasan dilakukan asal-asalan maka barang bisa rusak yang tentu akan mengecewakan pelanggan. Kekecewaan itu biasanya akan diungkap lewat  umpan balik negatif yang mendarat di kolom ulasan produk. Prospek penjualan bisa menurun.

Satu contoh bagaimana kira-kira pengemasan  yang paripurna itu dilakukan, penulis paparkan dalam cerita sorot balik berikut ini. Sumbernya berdasarkan pengalaman proses unboxing paket pot terakota  yang dipesan selumbari.

Pertama, pelapak membungkus pot kembang dengan bubble wrap sebelum memasukannya ke dalam kardus atau kotak kayu. Supaya balutannya rapat, lembar plastik bergelembung udara tersebut dikencangkan dengan lakban.

Tentu ada ruang kosong di dalam kotak. Langkah kedua agar pot tidak terbanting selama perjalanan ialah mengisi  rongga dengan benda seperti kertas bekas atau busa polistiren untuk meredam benturan.

Proses terakhir, bagian luar kardus dilapis lagi dengan bubble wrap. Karena bagian luar ini adalah garda terdepan pelindungan maka penanganannya harus prima. Artinya lebih banyak lakban yang bermain.

Hasilnya maksimal. Deretan bintang lima menjadi bukti  apresiasi kepada pelapak yang memasarkan tembikar berbahan lempung tadi. Komentar customer rata-rata berhubungan dengan kerapian kemasan/ barang tiba dengan selamat, selain tentunya kualitas, kecepatan dan keramahan.

Mengurai cara bagaimana barang  dikemas rasanya kadang terbit seketul ironi. Betapa untuk maksud merawat bumi pun --seperti menanam bunga-- ternyata kita masih terbelenggu lakban dan bubble wrap.

Bandingkan prosesnya  jika kita membeli langsung.  Memungkinkan tanpa sampah sama sekali karena kita bisa menggunakan tas belanja/ tote bag untuk membawa  belanjaan. Soal transportasi pengiriman kita anggap sama karena pot tak mungkin diunduh seperti data.

Penggunaan bubble wrap plastik dalam pengemasan barang (Foto: dokumen pribadi).
Penggunaan bubble wrap plastik dalam pengemasan barang (Foto: dokumen pribadi).

Peluang ekonomi

Terkait peralihan yang dipercepat kondisi pandemi ini, kita akui ada babakan baru ekonomi yang membuka peluang  untuk  lebih banyak peserta. Ekonomi partisipatif.

Proses  transformasi digital memicu aneka sektor tumbuh pesat. Usaha kecil/ UMKM di pelosok yang memproduksi  barang, jasa pengiriman, jasa pelatihan usaha online, endorser, reseller, hingga usaha pembuatan kemasan. Semua menggeliat setelah berbagai bidang usaha terpuruk akibat Covid-19.

Keuntungan lain dari bersinarnya ekonomi digital adalah harga-harga yang semakin miring dan terjangkau. Hal itu terjadi karena rantai distribusi yang dulu panjang sekarang terpangkas.

Data Kominfo (08/ 05/ 2020) mengatakan, ada kenaikan signifikan pada jumlah produksi makanan dan minuman ketika awal pandemi mulai terjadi. Dari Februari ke Maret produksi meningkat 143%; kemudian menuju April melonjak lagi 260%. Produk sanitasi dan farmasi apalagi.

Kuartal I tahun ini tercatat ada 548 juta transaksi e-commerce dengan nilai mencapai Rp 88 triliun. Data Bank Indonesia yang dikutip kontan.co.id (23/04/ 2021) tersebut artinya ada kenaikan 99% untuk volume transaksi dan 52% kenaikan nominal dari tahun 2020.

Penyebab lonjakan tentu saja dinisbatkan pada  kebijakan pembatasan aktivitas masa pandemi. Larangan bepergian dan penutupan tempat kerja memaksa warga tinggal di rumah. Hal itu mendorong warga menekuni sejumlah hobi yang antara lain bernuansa lingkungan. Contohnya yang populer misalnya  urban farming, berkebun, beternak, dan bersepeda.

Soal  berkah ekonomi  dalam jaringan dan maraknya  hobi-hobi tadi tentu baik. Namun sedikit  pertanyaan menggelitik nalar: bisakah kita membatasi  penggunaan kemasan sekali pakai yang tak ramah lingkungan?

Dengan berlangsungnya ratusan juta transaksi per bulan seperti yang disebutkan BI, bisa kita bayangkan bagaimana massifnya penggunaan bahan-bahan tak ramah lingkungan dalam proses pengemasan barang.

Dalam konteks konservasi lingkungan  hal itu perlu menjadi  perhatian. Akumulasi sampah kemasan bisa mencapai ribuan ton per hari. Tren  itu dipastikan akan terus meningkat seiring tuntutan kebutuhan dan dorongan pemerintah mempercepat digitalisasi ekonomi.

Data penggunaan plastik di dunia pada tahun 2015 (Grafik: ourworldindata.org).
Data penggunaan plastik di dunia pada tahun 2015 (Grafik: ourworldindata.org).
Bahan biodegradable

Plastik dan polistiren (populer disebut styrofoam, sebuah merk dagang) yang digunakan dalam proses pengemasan adalah material yang memiliki ikatan kimia kuat sehingga sulit terurai. Dalam bentuk cacahan reniknya seperti mikroplastik bahkan menjadi berbahaya karena bisa masuk ke dalam tubuh lewat rantai makanan.

Pilihan pemusnahan dengan pembakaran  juga konsekuensinya  akan melepas kalor dan karbon yang pada akhirnya memicu kenaikan suhu lingkungan. Kecuali kalau energi panas dikonversi menjadi listrik.

Selain pelepasan energi panas secara langsung, polutan juga menghambat pemantulan balik sinar matahari dari bumi ke ruang angkasa. Kondisi ini dinamakan efek rumah kaca yang berperan mempercepat kenaikan temperatur bumi.

Jika bahan kemasan yang  beredar sekarang  berpotensi   merusak lingkungan, adakah  bahan alternatif pengganti yang berfungsi sama?

Dirangkum dari sejumlah sumber, penelitian menunjukkan bahwa beberapa kandidat dapat dipilih sebagai  bahan substitusi  plastik. Secara umum bahan tersebut memang berasal dari seluruh atau sebagian tubuh organisme, misalnya:

  • berbagai jenis serat (bambu, sabut, katun, nanas);
  • rumput laut;
  • berbagai jenis jamur;
  • kanji/ pati;
  • protein susu;
  • lilin lebah;
  • substansi  yang dihasilkan mikroorganisme;
  • limbah pertanian seperti  tongkol jagung, tandan sawit, tebu, jerami;
  • limbah buah-buahan;
  • hingga bubur kertas daur ulang atau limbah kayu.

Bahan-bahan tersebut menjadi alternatif  yang murah untuk menggeser  plastik konvensional. Berbagai bentuk kemasan yang saat ini ada seperti bubble wrap, plester perekat, kantong, kotak kemasan,dan  busa pelindung/ foam  semuanya dapat dibuat dari bahan yang mudah terurai di alam.

Plastik yang mudah terurai/ biodegradable (Foto: dokumen pribadi).
Plastik yang mudah terurai/ biodegradable (Foto: dokumen pribadi).

Memulai langkah 

Menilik potensi alam yang ada, Indonesia sebagai negara maritim sekaligus agraris memiliki semua jenis bahan baku  kemasan yang ramah lingkungan. Permasalahannya adalah belum muncul satu kesadaran dan atau tindakan bersama  untuk merealisasikan.

Kenyataan seperti yang diungkap dalam  fenomena di atas, masih sulit bagi kita untuk menghindari kemasan plastik di tengah massifnya transaksi daring.

Pembeli tidak dapat memilih dengan bahan apa atau bagaimana barang pesanan dikemas. Orientasinya hanya satu yaitu barang tiba di rumah dengan selamat. Pedagang juga demikian, secara kongkrit  mereka sulit mengorbankan kepraktisan penggunaan plastik dengan kemasan biodegradable yang masih langka.

Meski demikian bukan berarti kita boleh berpangku tangan. Menyuarakan potensi bahaya plastik kemasan adalah langkah awal sebagai  sebuah voice yang mudah-mudahan dipertimbangkan pembuat kebijakan.

Seperti ekonomi partisipatif yang melibatkan banyak pihak, konservasi lingkungan juga perlu menempuh jalan serupa. Tentunya bukan semata karena target net-zero emissions 2060 tadi. Kita melakukannya karena memang memerlukan habitat yang sehat bagi jiwa dan raga kita sendiri.***

Bacaan tambahan:

How Stuff Works

Huffpost

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun