Tentu ada ruang kosong di dalam kotak. Langkah kedua agar pot tidak terbanting selama perjalanan ialah mengisi  rongga dengan benda seperti kertas bekas atau busa polistiren untuk meredam benturan.
Proses terakhir, bagian luar kardus dilapis lagi dengan bubble wrap. Karena bagian luar ini adalah garda terdepan pelindungan maka penanganannya harus prima. Artinya lebih banyak lakban yang bermain.
Hasilnya maksimal. Deretan bintang lima menjadi bukti  apresiasi kepada pelapak yang memasarkan tembikar berbahan lempung tadi. Komentar customer rata-rata berhubungan dengan kerapian kemasan/ barang tiba dengan selamat, selain tentunya kualitas, kecepatan dan keramahan.
Mengurai cara bagaimana barang  dikemas rasanya kadang terbit seketul ironi. Betapa untuk maksud merawat bumi pun --seperti menanam bunga-- ternyata kita masih terbelenggu lakban dan bubble wrap.
Bandingkan prosesnya  jika kita membeli langsung.  Memungkinkan tanpa sampah sama sekali karena kita bisa menggunakan tas belanja/ tote bag untuk membawa  belanjaan. Soal transportasi pengiriman kita anggap sama karena pot tak mungkin diunduh seperti data.
Peluang ekonomi
Terkait peralihan yang dipercepat kondisi pandemi ini, kita akui ada babakan baru ekonomi yang membuka peluang  untuk  lebih banyak peserta. Ekonomi partisipatif.
Proses  transformasi digital memicu aneka sektor tumbuh pesat. Usaha kecil/ UMKM di pelosok yang memproduksi  barang, jasa pengiriman, jasa pelatihan usaha online, endorser, reseller, hingga usaha pembuatan kemasan. Semua menggeliat setelah berbagai bidang usaha terpuruk akibat Covid-19.
Keuntungan lain dari bersinarnya ekonomi digital adalah harga-harga yang semakin miring dan terjangkau. Hal itu terjadi karena rantai distribusi yang dulu panjang sekarang terpangkas.
Data Kominfo (08/ 05/ 2020) mengatakan, ada kenaikan signifikan pada jumlah produksi makanan dan minuman ketika awal pandemi mulai terjadi. Dari Februari ke Maret produksi meningkat 143%; kemudian menuju April melonjak lagi 260%. Produk sanitasi dan farmasi apalagi.