KSP Moeldoko mengaku telah berinisiatif membagikan puluhan ribu dosis Ivermectin sebagai obat untuk melawan Covid-19. Tiga kecamatan di Kudus menerima bantuan obat murah tersebut ketika kasus harian melonjak tinggi di sana (detik.com, 7/6/2021).
Ketika Covid-19 semakin menggila hari-hari ini, Ivermectin kembali diperbincangkan. Moeldoko mengapresiasi Erick Thohir yang sigap mengurus izin ke BPOM agar bisa diterapkan secara legal untuk pasien corona.
Persoalannya adalah BPOM memang menyetujui penggunaan Ivermectin  tetapi bukan untuk Covid-19. Obat tersebut adalah antiparasit berskala luas terutama untuk membasmi cacing. Penerapan untuk membasmi corona masih memerlukan uji klinis terkait khasiat, dosis, dan efek sampingnya.
Penelitian di Monash University
Bagaimana bisa obat cacing merangkap obat virus? Ceritanya ternyata sudah dimulai sejak 2020 lalu.
April 2020, peneliti  Biomedicine Discovery Institute (BDI) di Monash University Australia menemukan dalam skala laboratorium bahwa Ivermectin dapat membunuh virus SARS-CoV-2  dalam tempo 48 jam (pharmaceutical-technology.com).
Riset yang dilakukan bersama Doherty Institute itu menemukan bahwa dosis tunggal Ivermectin mampu melawan RNA virus dalam waktu 2 hari saja. Bahkan dalam 24 jam pertama saja obat tersebut sudah menunjukkan hasil nyata. Menurut Dr Kylie Wagstaff adalah realistis jika obat murah yang secara luas digunakan secara aman (sebagai anti-parasit) dapat menjadi pilihan saat vaksin belum tersedia.
Dr Kylie Wagstaff, BDI Monash University:
"We found that even a single dose could essentially remove all viral RNA by 48 hours and that even at 24 hours there was a really significant reduction in it."Â
Pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme kerjanya dalam membantu sel inang melawan virus pendatang. Yang pasti, secara perizinan obat tersebut oleh FDA Amerika Serikat sendiri sudah ada yaitu sebagai obat antiparasit.
Digunakan di 16 negara
Meskipun baru sebatas uji lab tetapi kabar efektivitas Ivermectin segera meluas di tengah kelangkaan obat dan vaksin. Negara-negara miskin dan ekonomi menengah melihat peluang murah untuk membiayai perang melawan pandemi.
India menjadi salah satu referensi yang diacu Indonesia dalam mengadopsi Ivermectin. Terhitung sejak September 2020 obat tersebut sudah dicoba untuk diterapkan pada pasien.
Sofia Koswara, PT Harsen Laboratories:
"Hanya tiga pekan setelah menambahkan Ivermectin di New Delhi, kasus terinfeksi yang memuncak 28,395 orang pada 20 April lalu turun secara drastis menjadi 6.430 orang pada 15 Mei. Kematian juga turun sekitar 25 persen pada bulan yang sama."
Termasuk India, menurut  Vice President PT Harsen Sofia Koswara, obat yang telah diproduksi di Indonesia itu telah digunakan di 16 negara. Beberapa negara lain yang diketahui yaitu Afrika Selatan, Filipina, Slovakia, Peru, dan Meksiko.
Negara-negara pengguna obat dengan rumus kimia C47H72O14 ini memang perlu segera menemukan solusi murah dan cepat untuk membatasi laju penyebaran pandemi. Meski FDA dan WHO sudah memperingatkan pentingnya uji klinis tetapi popularitas Ivermectin terus menanjak.
Hal masuk akal adalah meskipun salah obat setidak-tidaknya obat itu adalah obat cacing. Mungkin virus gagal  dilenyapkan tetapi pasien dapat berharap bisa bebas cacingan.
Saat ini ada 2 kategori obat yang diproduksi menurut peruntukkannya, ada yang untuk konsumsi manusia dan ada yang untuk hewan. Sampai taraf ini sekurang-kurangnya ada batas tegas, jangan sampai obat cacingan untuk kuda digunakan pula oleh manusia.
Perihal uji klinis sendiri BPOM mengatakan bahwa saat ini Ivermectin baru dalam tahap akan dilakukan  uji klinis. Sangat disayangkan mengapa baru sekarang uji cobanya padahal clue-nya sudah berbulan-bulan lalu.
Berdasarkan keterangan Sofia Koswara tadi --dan juga Dr Budhi Antariksa dari RS Sulianti Saroso-- Ivermectin berpotensi mampu menghambat perbanyakan atau anti-replikasi virus. Bulan September 2020 lalu sudah diketahui potensi itu dan bahkan sejak April jika mengikuti perkembangan global di Monash University.
Seharusnya pihak-pihak terkait sigap berinisiatif jangan sampai langkah pakar-pakar kita kalah gesit dengan mutasi virus corona yang sudah berjilid-jilid.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H