Tes Wawasan kebangsaan yang dilakukan terhadap pegawai KPK menuai polemik. Permasalahan muncul terkait dengan rumor bahwa tes tersebut bertujuan menyingkirkan sekelompok pegawai dengan wawasan kebangsaan yang diragukan. Selain itu ada pula beberapa pertanyaan di dalam tes itu yang dianggap janggal.
Tulisan ini tidak hendak membahas soal kepegawaian, apakah yang tak lulus tes perlu dibina agar diterima menjadi ASN ataukah tidak. Yang perlu disorot adalah masalah yang kedua yaitu menyangkut pertanyaan yang diajukan  dalam TWK itu.
Salah satu pertanyaan dalam TWK yang diberitakan media yaitu pilihan apakah peserta akan memilih Al Quran ataukah Pancasila. Informasi tersebut itu antara lain berasal dari Febri Diansyah lewat cuitan di akun twitternya.
Febri Diansyah (detik.com, 1/6/2021):
"Pilih yang mana, Al-Qur'an atau Pancasila mengingatkan saya pada pertanyaan tes wawasan kebangsaan KPK."
Pertanyaan demikian tentunya diajukan kepada yang peserta yang beragama Islam. Dari sini lalu timbul percabangan, apakah pegawai yang Nasrani juga mendapat pertanyaan identik, pilih Alkitab ataukah Pancasila? Begitu pula dengan umat lain.
Sangat disayangkan hal itu terjadi dan pertanyaan tersebut meresahkan.Â
Bagi kebanyakan umat Islam antara Al Quran dengan Pancasila tidak ada yang perlu dipertentangkan atau berlawanan. Tidak hanya muslim Indonesia, ulama Mesir Grand Syekh Al Azhar Ahmad Thayyeb  juga memandang bahwa Pancasila itu merupakan esensi dari ajaran Islam.
Salah satu ulama Indonesia dan sebagai sesepuh Muhammadiyah, Syafii Maarif, mengutuk keras pihak yang memanfaatkan Pancasila demi kepentingan sendiri. Buya Syafii menganggap bahwa hal itu adalah pengkhianatan.
Dari gejala yang tampak di permukaan lantas kegelisahan menyeruak, apa benar isu Taliban itu? Isu yang mengatakan bahwa KPK dikuasai kelompok tertentu yang disebut terindikasi radikal. Jangan-jangan isu Taliban hanyalah sekadar topeng untuk membawa kepentingan lain. Faktanya yang tidak lolos TWK itu tidak hanya yang pegawai yang dianggap radikal saja. Berkaitan dengan itu, dua hal perlu dicermati berada di balik TWK.
Pertama, kepentingan untuk mengurangi kegarangan KPK atau lebih populer dengan frasa pelemahan KPK.
Sejumlah pegawai yang tidak lolos diketahui memiliki rekam jejak, kemampuan, dan komitmen pemberantasan korupsi yang tinggi. Hal ini sangat rawan mengingat Pemilu 2024 semakin dekat. Pejabat-pejabat yangberasal dari parpol harus diawasi.
Dalam konteks uang negara yang beredar saat ini, selain APBN dan APBD ada juga dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Totalnya ada ribuan triliun. Mendatang muncul pula rencana pembelian alusista (Alpalhankam) dari Kemenhan. Besarnya tak terkira, Rp 1750 triliun untuk periode (2020-2024).
Rodon Pedrason, Kemenhan (kompas.com, 31/5/2021):
"Jumlah anggaran untuk alutsista itu rahasia negara, tetapi angka yang disebutkan Rp 1.750 itu bukan itu."
Jika pegawai KPK semakin melunak dan bisa diseragamkan atau diorkestrasi  oleh segelintir elit maka berarti pertanda masa depan gelap bagi penyelamatan APBN dan aset-aset negara.
Pegawai seperti Novel Baswedan yang diisukan tebang pilih dengan menangkap koruptor ecek-ecek sebetulnya biarkan saja. Konstruksi pencitraan bahwa Novel Baswedan tebang pilih itu --misalnya dengan mengabaikan kasus di DKI-- tentu kurang tepat juga. Bukankah elemen penegakkan hukum tidak hanya KPK?
Kedua, kepentingan proksi untuk menyudutkan umat Islam seperti yang terjadi pada zaman orde baru.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyoal identitas atau aksesoris keagamaan mestinya tidak menjadi bahan pertanyaan yang sifatnya determinatif  ya atau tidak. Model pertanyaan itu harus mampu membuka khazanah pemikiran dan sudut pandang yang argumentatif.  Tesnya kan berjudul tes wawasan. Bagaimana pula andai pertanyaan itu jadi standar dalam seleksi ASN lembaga lain.
Jangan sampai isu Taliban atau isu kebangsaan jadi alat untuk melindungi kepentingan elit seperti yang terjadi pada masa lalu. Rakyat ditakut-takuti dan dihambat potensinya agar tidak bersikap kritis terhadap perilaku pejabat dan atau kebijakan-kebijakannya.
Mengingat tes kebangsaan itu sudah semakin terbuka kejanggalannya maka pemerintah harus terbuka kepada publik. Â Pihak BKN (Badan Kepegawaian Nasional) sebagai penyelenggara tidak dapat berlindung dengan regulasi bahwa materi tes tidak dapat diungkapkan kepada publik.
Jika TWK itu normal-normal saja tentu tidak akan mengundang  kecurigaan banyak pihak. Akan tetapi dengan semakin melimpahnya bukti bahwa tes itu tidak wajar maka pemerintah perlu transparan dalam memberikan penjelasan.
Pemberantasan korupsi  penting, ya! Dan kian urgen.  Tes wawasan kebangsaan juga oke. Namun demikian  jangan sampai ada kepentingan proksi yang diselundupkan untuk memperlemah pemberantasan korupsi itu sendiri. Juga jangan sampai membuka pengalaman traumatik umat Islam pada era orde baru.
Dirgahayu Pancasila. Semoga semakin sakti  dan kuat penciumannya untuk mengendus tikus-tikus berdasi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H