Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah KLB Demokrat, Mampukah Narasi "Kudeta Capres" PDIP Bertahan Lama?

27 Mei 2021   10:46 Diperbarui: 27 Mei 2021   10:52 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Survei elektabilitas capres oleh Polmatrix, Mei 2020 (Antara/ pikiran-rakyat.com).

Ketika Demokrat bermain isu kudeta partai dan KLB, perhatian media dan netizen lumayan besar. Berhari-hari hingga hitungan bulan tema tersebut tayang media. Terakhir saat lebaran tiba. Sempat dorong-dorongan antar kubu siapa yang harus minta maaf sama Jokowi, tetapi tak banyak ditanggapi.

Moeldoko sebagai tokoh "antagonis" sekaligus Ketum Demokrat versi  Kongres Luar Biasa sudah tidak kelihatan sosoknya sebagai ketua partai. Harusnya Moeldoko berani klaim bahwa prestasi Demokrat menduduki  urutan 3 elektabilitas partai menurut  survei ARSC (Akar Rumput Strategic Consulting) adalah hasil kerjanya.

Jika dihitung menurut berita yang muncul di media awal Februari lalu, isu kudeta partai, begal partai, atau KLB, yang diangkat Demokrat itu durasinya sekitar 3-4 bulan. Dari mulai warming up, klimaks, dan antiklimaks. Yang pas habis lebaran itu.

Belum tahu apakah AHY punya rencana plot baru ataukah justru dari pihak Moeldoko. Saat ini kedua pihak tampaknya sedang sama-sama rehat sejenak.

Berbeda dengan kasus Demokrat, isu kudeta capres ala PDIP tampaknya lebih cepat meredup. Isu yang dimulai dengan pengucilan Ganjar Pranowo dalam acara Puan ini sekilas melesat bak meteor tetapi sekarang menurun. Baik di kanal berita maupun trending medsos, antusiasme warga belum tinggi, atau menunggu sentuhan plot baru.

Tampaknya ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa narasi yang dibangun PDIP --entah beneran atau cuma dagelan-- itu mati angin. Ada dari faktor eksternal, ada dari internal.

Faktor eksternal tentu saja akibat ulah Demokrat yang pentas duluan. Akibatnya publik menjadi resisten terhadap isu semacam itu dan berhati-hati sambil menunggu apakah perlu ditanggapi ataukah tidak.

Faktor internal menyangkut timing, plot, dan pembagian peran.

Dalam menentukan pemeran narasi, Demokrat terlihat cukup jeli memilih figur yang diajak main. Membawa KSP Moeldoko sebagai "orang istana" menjadi pintu masuk untuk menekan Jokowi yang seolah-olah ada di balik layar. Mencolek Jokowi sama saja dengan main api. Fans beratnya siap turun gelanggang tanpa komando dan akhirnya dibikin rame.

Setelah umpan masuk pengembangan berikutnya lebih mudah. Sebagai contoh, meskipun terlihat begitu telanjang kejanggalan prosesi KLB Demokrat di Deli Serdang, tetapi toh beritanya luar biasa. Antara media dan medsos bersahut-sahutan saling menimpali.

Dari ranah akademis sejumlah intelektual  juga  turut bersuara yang semakin meyakinkan publik. Baru kemudian setelah masalah legalitas dibawa ke meja hijau situasi akhirnya reda dengan sendirinya.

Dampak dari keterlibatan itu, Moeldoko yang sempat ditekan-tekan terbukti masih aman posisinya. Tuntutan mundur sukarela atau dilengserkan Jokowi nyatanya tidak (belum) terbukti. Reshuffle kabinet kemarin bukanlah reshuffle seperti yang dibayangkan.

PDIP sebagai pihak petahana sulit bermain seperti Demokrat meski kasus yang diangkat mungkin real  terjadi. Isu kudeta capres bisa  gagal dikapitalisasi jadi momentum untuk  menambah popularitas partai atau figur. Relatif tidak banyak perubahan.

Jika maksud atau tujuan narasi kudeta capres adalah mengantar  Puan Maharani ke panggung wacana maka dari dulu publik juga sudah ngeh. Namun menyangkut preferensi publik yang dibahasakan sebagai elektabilitas maka persoalan menjadi berbeda. Nama besar tidak serta merta menjadi jaminan.

Tentang istilah capres juga sejatinya mengandung persoalan dari segi pihak yang melontarkannya. Istilah capres saat ini kan sebenarnya berasal  dari lembaga survei dengan pengkondisian "jika pemilu atau pilpres digelar hari ini".

Baik responden survei atau netizen survei umumnya relatif asyik-asyik saja dalam menanggapi  jagoan masing-masing terutama yang berada di 5 besaran: Prabowo, Anies, Ganjar, Ridwan Kamil, dan nama lain yang saling menikung. Sejauh ini tidak satu pun dari nama-nama yang disodorkan lembaga survei  itu terang-terangan menggalang dukungan.

Survei elektabilitas capres oleh Polmatrix, Mei 2020 (Antara/ pikiran-rakyat.com).
Survei elektabilitas capres oleh Polmatrix, Mei 2020 (Antara/ pikiran-rakyat.com).
Survei elektabilitas capres oleh Y-Publica, Mei 2021 (Y-Publica/ merdeka.com).
Survei elektabilitas capres oleh Y-Publica, Mei 2021 (Y-Publica/ merdeka.com).
Andai muncul rasa kepedean atau kegeeran dari kontestan yang unggul elektabilitas sebenarnya manusiawi. Namanya juga manusia, asal kerja dan tugas tidak terkalahkan oleh status medsos atau pencitraan. Anggap saja pemacu motivasi kerja dan hiburan politik bagi publik.

Begitu juga dengan Ganjar Pranowo. Interaksi  yang terjadi melalui akun medsos tampaknya masih normal dalam kapasitas sebagai public figure. Sisi praktis yang penulis amati justru  warga jadi mudah mencolek Ganjar dalam menyelesaikan urusan-urusan pelayanan publik di Jawa Tengah.

Aktif di medsos bukan berarti kerja di lapangan jadi mandek. Jika dibandingkan dengan sesama kepala daerah yang setingkat, intensitas Gubernur Jateng turun ke lapangan ini tidak mengecewakan.

Tafsir PDIP bahwa Ganjar sudah "kemajon" (mendahului) yang berlatar belakang hasil survei  ini yang kemudian perlu dipertanyakan. Diksi yang dikemukakan Bappilu PDIP Bambang Wuryanto ini seolah menjadi titik api permasalahan.

Jika pembandingnya adalah Puan, dengan atau tanpa Ganjar popularitasnya memang masih kurang menggembirakan. Justru sebagai sesama kader separtai  mestinya Bambang atau Puan turut mendukung, ada wakil partai yang mengimbangi  figur-figur unggulan dari partai pesaing.

Faktor-faktor itu yang membuat narasi kudeta capres PDIP jadi kurang menarik. Ganjar masih terlalu superior dibanding putri kandung Megawati ini. Di luar faktor genetis. Di sisi lain, menyadari bahwa narasi itu rentan salah paham atau disalahpahami Ganjar juga tampak menjadi sangat berhati-hati dan irit bicara.

Dari yang tampak di permukaan relasinya dengan Ketum Megawati juga relatif baik. Ketika dikecualikan dari undangan dalam acara Puan di Semarang, terbukti yang bersangkutan justru bertemu Mega di Jakarta.

Unggahan Ganjar Pranowo di akun medsos baru-baru ini (Tangkapan layar Instagram @ganjar_pranowo).
Unggahan Ganjar Pranowo di akun medsos baru-baru ini (Tangkapan layar Instagram @ganjar_pranowo).
Dengan guliran wacana kudeta capres ini lalu muncul pertanyaan, apakah memang Megawati sedang melatih kadernya sparring partner sambil di sisi lain berharap publikasi media? Ataukah mungkin PDIP sedang memainkan strategi  "meluncurkan produk serupa" untuk mengganjal kompetitor sesungguhnya?

Hal itu yang sempat dikemukakan Ganjar Pranowo sebagai  "satu kurang tetapi dua kebanyakan" beberapa waktu lalu . Mengambil momen makan mi instan Ganjar sempat pula menyinggung soal "ngekos" yang memang identik  dengan menu itu.

Ndilalah-nya,  Bambang Pacul juga menyinggung  kasus Rustriningsih yang membelot ke kubu Prabowo dalam Pilpres 2019 lalu. Ia mempersilakan Ganjar untuk mengambil sikap jika ingin memilih jalan sendiri.

Mungkin Ganjar juga menyimpan opsi ngekos ini (lewat partai lain) dalam perjalanan karir politiknya. Jika itu kemudian terwujud, jangan-jangan PDIP justru yang sedang mempersiapkan plot 2 kandidat dalam pilpres nanti.

Bambang Pacul, Bappilu PDIP (detik.com, 27/5/2021):

"Ya monggo kalau orangnya (Ganjar) mau, orangnya (Ganjar) mau monggo, sudah banyak contoh kok, banyak contoh itu di Jawa Tengah itu semua orang tahu, Ibu Rustriningsih." 

Memajukan lebih dari 1 kandidat dalam pilpres bukanlah hal yang baru. Strategi ini kerap digunakan Golkar + Jusuf Kalla sehingga Partai Beringin ini seakan tak pernah benar-benar jauh dari pusat kekuasaan.

Ada banyak pertanyaan menarik. Namun untuk sementara narasi kudeta capres ala Bappilu Bambang Pacul dan Puan sayangnya masih perlu gocekan menarik lagi. 

Terkait restu capres yang nanti benar-benar akan berlaga tampaknya Megawati sendiri masih santai. Yang pasti dinamika internal ini tak mungkin akan dibiarkan menjadi kesempatan bagi partai lain untuk mengambil keuntungan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun