Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V KSP (idntimes.com, 29/3/2021):
"Menurut hasil kajian Tim Lab 45 terhadap aksi-aksi teror sepanjang tahun 2000-2021, serangan bom bunuh diri di Makassar merupakan aksi teror ke-552 di Indonesia."
Tim analis Lab 45 mengungkapkan bahwa teror bom di Katedral Makassar adalah aksi teror yang ke-552 sejak tahun 2000! Pelaku bom bunuh diri diduga merupakan anggota JAD, Jamaah Ansharud Daulah.
Data yang disampaikan dalam keterangan tertulis Jaleswari Pramodhawardani itu (mestinya) menyentak kesadaran kita. Sudah terlalu lama Indonesia bersahabat dengan teror. Data yang dinukil Deputi V KSP tadi  kemudian dipertajam data BIN seperti yang dikutip kompas.com (29/3/2021).
Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Hari Purwanto, menjelaskan bahwa indikasi jaringan teror Makassar --sebenarnya-- sudah terendus sejak 2015. Wawan menyebutkan indikasi yang dimaksud yaitu penyelenggaraan acara baiat ISIS di Sudiang, Makassar.
Sedikit selisih data dengan hasil rekaman media. Acara  yang dimaksud rupanya  terjadi tahun 2014. Atau, apakah tahun 2015 juga berlangsung acara serupa?
Rosnah Basri, Lurah Sudiang Raya (tempo.co, 7/8/2014):
"Mereka tidak pernah berkoordinasi karena setiap ada kegiatan selalu tertutup. ...Selebihnya banyak orang asing atau warga siluman yang sering datang melakukan kegiatan di masjid itu."
Data jangan hanya menjadi bahan presentasi
Kilas balik 20 tahun lalu seturut data KSP atau Lab 45, bom Bali I dan II yang terjadi awal tahun 2000 merupakan tonggak bersejarah aksi teror bom di Indonesia. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 luka-luka. Jenis teror ini termasuk teror yang menyasar  tempat umum atau kerumunan orang .
Temuan yang diperoleh tim Lab 45 itu kemudian mengungkap bahwa teror tempat umum bukanlah sasaran favorit. Tiga teratas target utama yaitu aset pribadi/ individu, tempat atau tokoh keagamaan, dan aparat kepolisian.
Lanjut ke bentuk serangan, data Lab 45 menunjukkan bahwa pengeboman adalah yang aksi terfavorit (51%). Bentuk yang kedua yang disukai pelaku teror adalah serangan bersenjata (30%). Sedangkan pada posisi ketiga yaitu serangan yang menyasar fasilitas umum (8%).
Tetapi apalah artinya data-data yang dipaparkan di atas. Faktanya berarti sudah terdapat 4 presiden dengan 5 periode jabatannya yang sedang berlangsung sekarang tetapi teror masih kerap terjadi. Jika jaringan pelaku teror tahun 2000 itu punya sistem regenerasi sudah berapakah jumlah mereka sekarang. Pola temuan Lab 45, pada era Jokowi kebanyakan aksi dilakukan oleh JAD.
Sebelum kejadian pun sejumlah terduga  dibekuk aparat. Pada bulan Januari lalu Densus 88 dan Polda Sulsel berhasil meringkus 20 orang terkait indikasi jaringan teror.
Merujuk pada data BIN bahwa ada ratusan peserta baiat ISIS di Sudiang tahun 2015 itu membuktikan bahwa sejak 2000 potensi teror masih tinggi. Selama 6 tahun itu berapakah yang sudah terungkap? Adakah yang ikut deradikalisasi? Kemudian, masih ada berapa lagi yang masih di luar sana?
Ketika 2015 itu indikasi aktivitas jaringan sudah tercium mestinya respons sepadan segera dilakukan untuk mengejar data individu dan pergerakan mereka. Sejauh apa penanaman ideologi teror terbentuk perlu diulik. Jaringan ke atas, ke bawah, dan relasi horizontal-lateral perlu dikaji.
Namun nyatanya tahun 2019 lalu Menkopolhukam Wiranto dan rombongan kena imbasnya pada waktu kunjungan ke Lebak, Banten . Wiranto menjadi korban serangan yang dilakukan sepasang suami istri.
Budi Gunawan, Kepala BIN (merdeka.com, 20/10/2019):
"Dari dua pelaku ini, kita sudah bisa mengindentifikasi bahwa pelaku adalah dari kelompok JAD Bekasi. Kita tahu bahwa saudara Abu Rara ini, dulu adalah dari sel JAD Kediri, kemudian pindah. Sudah kita deteksi pindah ke Bogor, kemudian karena cerai dengan istri pertama pindah ke Menes."
Temuan yang terungkap menunjukkan bahwa pelaku bom Katedral Makassar dengan pelaku penusukan Wiranto di Menes, Lebak, itu ternyata sama-sama terafiliasi  Jamaah Ansharud Daulah, JAD. Aksinya juga serupa, tandem suami-istri yang menikah tak lama sebelum hari H.
Sejauh ini aparat mungkin sudah menangkal sekian puluh atau ratus rencana aksi, tetapi yang 2 tadi ternyata masih lolos juga. Selain JAD memang ada pula kelompok-kelompok lain yang masih berkeliaran dan menunggu kesempatan. Namun data Lab 45 menunjukkan bahwa JAD lebih aktif pada masa Jokowi.
Saran pencegahan, kontra-wacana
Pemerintah selain harus bekerja keras mengulik data potensi dan pergerakan pelaku, perlu  juga harus memikirkan tindakan pencegahan. Pasutri Abu Rara dan istri sebelum beraksi melakukan serangan terhadap rombongan Wiranto ternyata sudah dipantau selama 3 bulan.
Soal data kependudukan pemerintah juga perlu memiliki data lengkap dan solid terkait potensi personal yang terindikasi. Tak hanya data pribadi tetapi juga catatan perkawinan dan jejak perpindahan/ migrasi.
Selain tindakan kuratif mengatasi permasalahan yang sudah kadung terjadi, saran pengamat penting didengar dan diwujudkan untuk membendung transformasi gagasan teror. Penangkapan massal oleh aparat belum tentu sebanding dengan gerak cepat perekrutan yang dilakukan para pelaku teror. Perlu dilakukan kontra-wacana untuk melawan ideologi teror trans-nasional.
Al Chaidar, pengamat terorisme Unimal (bbc.com, 28/3/2021):
"Pemerintah dalam hal ini sepertinya tidak punya imajinasi untuk membendung ideologi itu. Padahal banyak ahli keagamaan seperti di UIN, UI, UGM yang memiliki kemampuan untuk counter-discourse."
Data temuan Lab 45 dan pemantauan aparat di lapangan mudah-mudahan bukan hanya sekadar data. Data teror sudah ratusan, jangan sampai menunggu hingga ribuan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H