Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Gus Mus Muda, Bertahan Sebulan Penuh untuk Bertemu Menteri 3 Menit

11 Maret 2021   11:12 Diperbarui: 11 Maret 2021   11:28 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hobi yang dianggap aneh menurut kebanyakan orang. Salah satu di antaranya adalah hobi Gus Mus di masa muda saat masih menjadi santri: mengumpulkan alamat rumah artis  dan menteri.

Jika menghitung usia beliau saat melakoni hobi tersebut yaitu zaman Soekarno, kira-kira terjadi pada tahun 50-an akhir atau awal 60-an.  Mengumpulkan alamat itu mestinya untuk didatangi; dan alamat artis atau menteri umumnya ada di Jakarta sedangkan Gus Mus tinggal di Rembang. Bepergian antarkota waktu itu masih sulit karena kendaraan terbatas.

Pada kenyataannya memang begitu yang dilakukan ulama sekaligus sastrawan yang mahir berpuisi ini. Gus Mus mengumpulkan uang sebagai bekal menempuh perjalanan ke Jakarta dengan maksud menemu alamat artis atau menteri yang ia tidak kenal. Sebagai target pertama --sesuai profil seorang santri-- Gus Mus memilih rumah Menteri Agama untuk disowani.

Namun  bertemu Menteri Agama pun bukan soal mudah. Alamat rumah berhasil ditemukan tetapi Gus Mus diminta datang ke kantor saja di kementerian.

Di sinilah muncul permasalahan, apa yang menjadi alasan kuat untuk ketemu karena sesuai prosedur maksud kedatangan harus disampaikan dengan jelas dan masuk akal. Dalam kesempatan pertama mengisi formulir maksud kunjungan, Gus Mus ditolak mentah-mentah karena tak bisa meyakinkan staf penerima tamu di kementerian.

Penolakan tersebut tak membuat Gus Mus surut. Besoknya Gus Mus datang lagi, lusa maju lagi, dan lusa berikutnya juga; hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama.

Tentunya Gus Mus harus bermalam dan untuk itu beliau menginap di kantor NU pusat. Setiap pagi jalan kaki menempuh jarak Kramat Raya-Thamrin ke kantor Kemenag selama sebulan penuh!

Akhirnya kesabaran membuahkan hasil, termasuk di dalamnya mengisi formulir maksud kedatangan dengan berganti-ganti alasan. Santri muda dari pelosok itu akhirnya diizinkan menemui menteri dengan catatan waktunya tak boleh lebih dari 3 menit.

Cerita tersebut disampaikan Gus Mus saat mengisi ceramah Isra Mikraj empat tahun lalu di Ponpes Aziziyyah, Semarang. 

Selain soal ke-ngeyelan-nya menghadapi staf menteri era Soekarno, Gus Mus juga mengenang pertemuan dengan Presiden Soeharto saat diundang ke Istana.  

Betapa senangnya Gus Mus berkunjung menyambangi penguasa orde baru itu. Tak jadi soal meskipun harus meminjam jas dan antri ratusan orang hanya untuk bersalaman dan disapa Soeharto "apa kabar". Pengalaman tersebut lalu diceritakan kepada kerabat dan kawan-kawannya di rumah; berulang kali selama berminggu-minggu.

Lalu pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin itu membandingkan dengan salat.

Ibadah harian yang kerap diabaikan orang Islam ini sejatinya adalah momen pertemuan hamba dengan Allah yang begitu Maha Kuasa. Jika bertemu menteri atau presiden saja orang mempersiapkan diri sungguh-sungguh dan bangga meski berjumpa sesaat, maka mestinya salat lebih dari itu.

Begitu mengena bagaimana pendekatan Gus Mus dalam menjelaskan makna bahwa salat itu anugerah yang luar biasa.

Salat adalah momen umat Islam bisa sowan kepada Dzat yang Maha Tinggi yang kemuliannya melebihi kepala negara atau raja-raja. Tak hanya 3 menit lewat prosedur berbelit-belit, salat dapat dilakukan sekurang-kurangnya lima kali sehari. Boleh dilakukan kapan saja, siang atau malam, dan setelahnya kita dapat berdoa mengadukan berbagai persoalan untuk dapat diselesaikan.


Bagi penulis, ini adalah salah satu pengajian Isra Mikraj yang paling berkesan. Jika umumnya peristiwa itu dikenang lewat penggambaran kedahsyatan perjalanan Rasulullah SAW, Gus Mus menceritakan sisi lain salat lewat pengalaman perjalanan seorang manusia biasa. Tak hanya makna salat, Gus Mus juga meneladani kegigihan --bertahan 30 hari-- dan kreativitas imajinasi --mengarang alasan mengisi formulir di Kemenag-- lewat penuturan pengalaman hidup di masa mudanya.

Kisah itu mungkin tak akan memberi pengalaman batin luar biasa jika Gus Mus tidak berjibaku sebulan penuh untuk bertemu dengan menteri walau cuma 3 menit. Namun begitulah salah satu cara Tuhan memberi pemahaman, tidak selalu lewat kisah mukjizat para Nabi dan Rasul-rasul tetapi juga melalui cerita kehidupan seorang manusia biasa.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun