Meskipun pilpres sudah berlalu dan bahkan Jokowi-Prabowo jadi partner tetapi polarisasi tampaknya belum cair.
Berkaitan dengan hal tersebut perlu penulis sampaikan bahwa artikel ini tidak ada hubungannya dengan mendukung atau menentang rezim. Juga tentang salah satu produk kerjanya yaitu Omnibus Law Ciptaker. Omnibus Law Ciptaker tidak seharusnya dijawab ya atau tidak, tetapi dikritisi.Â
Untuk memperoleh gambaran umum secara jelas, Anda yang belum memperoleh draftnya bisa mengunduh lewat tautan ini: tirto.id atau bisnis.com.
Ketika UU Ciptaker sebagai produk hukum tersebut disetujui secara membabi buta, ada kemungkinan ia mengandung pasal-pasal selundupan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Atau, ada kemungkinan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.
Tetapi ketika ia ditolak habis-habisan, ada juga peluang hal itu akan merugikan kita sendiri. Kita yang mungkin berjumlah ribuan atau jutaan.
Maka dalam hal ini yang lebih tepat bagi kita adalah mengkritisi, bukan merespon dengan ya atau tidak. Apalagi menolak sambil merusak. Itu jelas kriminal.
Yang berjumlah ribuan --yang dirugikan-- ketika omnibus law ditolak misalnya kesempatan untuk bekerja. Menjelang 2021 diperkirakan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 12,7 juta (kompas.com, 22/06/2020).
Untuk menyediakan lapangan kerja yang luar biasa jumlahnya tersebut pemerintah melakukan penyederhanaan regulasi berinvestasi dan izin berusaha. Dengan kemudahan itu investor dalam dan luar negeri tertarik untuk membuat pabrik atau membuka cabang di sini yang berarti terciptanya lowongan kerja.Â
Buruh atau karyawan yang demo menentang omnibus law itu relatif enak, sudah tenang punya pekerjaan --dan bolos kerja pula--. Bagaimana dengan ribuan tenaga kerja yang lain yang masih menganggur?
Kemudahan lain yang dibuat pemerintah lewat omnibus law adalah perizinan bagi UMKM. Dengan perizinan yang nihil biaya untuk jenis usaha berisiko rendah, maka masyarakat diuntungkan karena terbebas dari ancaman pungli. Prosedurnya juga lebih sederhana sehingga tidak menyita waktu.
Jamak di Indonesia kalau untuk mengurus izin atau sesuatu itu terbuka peluang untuk mengalami pemalakan dari oknum petugas. Hal itu sudah banyak kasusnya dan pernah dialami penulis sendiri. Penyederhanaan perizinan menghindari kecurangan oknum yang suka memanfaatkan kesempatan.
Terlebih dalam kondisi pandemi di mana banyak pekerja dirumahkan dan bisnis yang tutup, kemudahan dari pemerintah untuk membuka usaha baru jelas sangat membantu. Selain itu tersedia bantuan permodalan dan bimbingan teknis seperti lewat BLT UMKM dan Kartu Prakerja.
Hal lain yang sangat penting dan urgen terutama bagi umat Islam adalah sertifikat halal untuk produk makanan.
Selama masa PSBB jenis usaha kuliner dan yang berbasis pangan merebak luar biasa. Penutupan pasar, restoran, rumah makan, dan warung, menyebabkan para pemilik usaha berinisiatif membuka layanan online untuk menjangkau konsumen.
Selama ini yang kita ketahui cara membedakannya adalah berdasarkan intuisi. Makanan seperti gado-gado atau mie ayam hampir tidak mungkin tidak halal. Selain itu produk non-halal biasanya tertera dalam keterangan yang dicantumkan oleh produsen.
Meskipun begitu, sertifikasi produk halal makanan akan semakin menentramkan jika pedagang menyatakan bahwa jualannya mengantongi sertifikat halal dari instansi berwenang.
Sayangnya untuk memperoleh sertifikat ini harganya tidak murah. Range biayanya berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 12 juta. Perbedaan tersebut karena menyesuaikan kebijakan tiap daerah yang berbeda. Di Riau ada yang lebih murah yaitu Rp 1,5 juta - Rp 3,25 juta.
Bagi pengusaha kecil jangankan Rp 12 juta, uang ratusan ribu saja pasti akan diperhitungkan baik-baik. Penghematan itu mutlak diperlukan karena bukan hanya keuntungan yang tipis tetapi bahkan mungkin karena kondisi minus mengingat modal yang diperoleh berasal dari pinjaman.
Lewat omnibus law salah satu usaha yang dilakukan pemerintah yaitu menggratiskan biaya pengurusan sertifikat halal tersebut.
Tentunya kemudahan itu perlu disyukuri, baik bagi produsen maupun konsumen. Pihak produsen yang masuk kategori UMKM sangat terbantu dari segi biaya pengeluaran, sedangkan konsumen mendapat kepastian kehalalan yang semakin dipermudah.
Pasal 44 (2) UU Ciptaker:
"Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya."
Jika omnibus law ditolak mentah-mentah maka soal sertifikasi halal juga akan ikut hangus. Yang berarti pengurusannya kembali ke kondisi semula.
Dengan kondisi prosedur perizinan biaya tinggi maka para pemilik UMKM akan cenderung menghindarinya agar dapat menghemat pengeluaran. Konsumen juga pada gilirannya merasa kurang afdol jika mengkonsumsi produk yang bersangkutan yang tidak berlabel halal.
Dari keseluruhan omnibus law, tentu tidak semua dari 76 UU yang terbagi dalam 11 klaster itu bagus semua isinya. Bagian-bagian yang bermasalah itulah mutlak perlu diperbaiki dan mencari penyelesaian. Tapi jangan dibuang semua dibuang hanya karena ada ketidaksempurnaan.
Bivitri Susanti (kompas.com, 06/10/2020):
"Kalau ada yang inskonstitusional maka pasal-pasal yang dimintakan dibatalkan itu jadi inskonstutisional dan karenanya batal. Tapi itu melalui judicial proses, kalau membatalkan ya enggak ada."
Kesimpulannya, omnibus law itu harus dikritisi; bukan diterima mentah-mentah atau sebaliknya, ditolak total seperti oleh segelintir orang. Ketika semuanya ditolak --atau dihambat-- ada kemungkinan hal itu akan merugikan kita sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H