Di satu negara, andai negara itu diibaratkan satu kapal maka di sana harus ada cuma satu nakhoda yang pegang kemudi. Kalau ada dua maka nakhoda yang lain terpaksa harus naik sekoci.
Konsekuensi  dari nakhoda yang harus cuma satu itu pernah menyebabkan kita mengalami masa-masa kekuasaan rezim yang berlangsung begitu lama. Hal ini terjadi karena tidak ada aturan yang membatasi; berapa lama ia boleh berkuasa.
Yang terlama yaitu rezim orde baru di bawah Presiden Soeharto yang durasinya mencapai 32 tahun. Jika 2019 kemarin dihitung awal kekuasaan Soeharto maka ujung jabatannya akan berakhir tahun 2051 nanti. Anda siap? Kencangkan ikat pinggang!
Anggaplah sekarang era orde baru di mana presiden yang berkuasa adalah Soeharto, apa yang akan Anda alami? Atau dalam sudut pandang rezim penguasa, apa yang kira-kira akan dilakukan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya hingga 2051 nanti?
Asumsikan bahwa blog berjamaah seperti Kompasiana boleh ada.
Yang jelas admin akan dipegang oleh orang yang terus berhubungan atau dihubungi pejabat tentara. Ada larangan menulis ini dan itu; ada peringatan atau warning untuk tidak menyentuh tema anu.
Agaknya di samping menawarkan topik pilihan, admin secara berkala menyampaikan pula  tentang topik-topik yang tidak boleh dipilih. Kalau mau nekat, penulis harus pandai-pandai menggunakan kiasan agar semua aman dan terkendali. Kalau sudah kena breidel maka semua jadi susah, tak bisa menulis lagi.
Pengalaman menunjukkan pada kenyataannya memang begitu; seperti yang sering diceritakan wartawan-wartawan jadul. Meminjam kalimat Jakob Oetama almarhum, orang atau media harus cerdik bersiasat agar tetap hidup dan bisa terus berjuang. Orang mati --meskipun gagah-- tidak bisa diajak berjuang.
Begitulah jalan ninja orang-orang media dan atau penulis hingga mampu bertahan di zaman orde baru. Sekali dua pelanggaran terjadi dan peristiwa itu telah menjadi sejarah pencapaian menuju kebebasan berbicara.
Pelanggaran --asal tahu saja-- tidak hanya berarti hukuman atau periuk nasi yang hilang, tetapi  mungkin juga jiwa yang melayang.
Meskipun Indonesia secara formal de jure menyatakan diri sebagai negara demokrasi tetapi pada kenyataannya  klaim itu batal secara de facto. Atau kurang sahih. Mana ada demokrasi dapat berjalan jika hak kebebasan mengemukakan pendapat dikerdilkan.