Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Omnibus Law, Najwa Shihab, dan Misteri Sepotong Pesan dalam Kertas Bekas

11 Oktober 2020   05:12 Diperbarui: 11 Oktober 2020   06:00 3082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman 1 dari 2, pernyataan politik Demokrat menyikapi Omnibus Law UU Cipta Kerja gagasan pemerintah yang ditetapkan DPR, 09/10/2020 (twitter.com/ @OssyDermawan).

Sepotong pesan terekspose secara live lewat acara Mata Najwa episode Mereka-reka Cipta Kerja, 07/10/2020. Pesan tersebut berisi permintaan tolong kepada siapa saja yang membacanya. Dan, harus segera!

Tentang insiden itu Najwa Shihab sudah klarifikasi.

Nana  --demikian panggilannya-- tidak tahu ada tulisan bernada genting di kertas yang ia pegang saat tampil dalam tayangan itu. Kertas tersebut dikatakan sebagai kertas bekas yang diperolehnya secara begitu saja.

Ada pun kondisi Nana saat ini baik-baik saja, tidak kurang suatu apa. Demikian seperti  yang sampaikan kepada media. Alhasil warga tak perlu cemas apa-apa.

Tetapi betulkah pesan itu sebuah ketidaksengajaan?

Pesan tulisan tangan seperti memo singkat, bernada urgen, dengan media seadanya bisa memunculkan tafsir serius yang terbukti menimbulkan respon kecemasan netizen yang membacanya. Medium is the message, kata Marshall McLuhan. Dalam kondisi terdesak tidak mungkin seseorang menulis pesan dalam bentuk kaligrafi yang berukir indah. Dan yang "menyampaikannya" Najwa Shihab pula!

Lain jika pesan disampaikan oleh Kang Sule misalnya. Penonton pasti bingung, gerangan apa yang membuat dia harus ditolong dalam waktu sesegera mungkin. Apakah minta tolong sukarelawan untuk jadi panitia pernikahannya?

"Dialog" anggota DPR Dedi Mulyadi dengan kursi kosong sebagai parodi drama kursi kosong Mata Najwa. Dedi dalam video yang diunggah tanggal 08/10/2020 di kanal Youtube-nya menyoal seseorang yang ditunggu dan dibutuhkan tetapi tidak muncul-muncul (youtube.com, Kanal Kang Dedi Mulyadi).
"Dialog" anggota DPR Dedi Mulyadi dengan kursi kosong sebagai parodi drama kursi kosong Mata Najwa. Dedi dalam video yang diunggah tanggal 08/10/2020 di kanal Youtube-nya menyoal seseorang yang ditunggu dan dibutuhkan tetapi tidak muncul-muncul (youtube.com, Kanal Kang Dedi Mulyadi).
Drama kursi kosong Menkes Terawan

Soal Mata Najwa ini beberapa peristiwa belakangan semakin membuatnya menjadi bahan sorotan. Sebagai host  acara, Najwa Shihab juga ikut semakin terkatrol popularitasnya.

Gaya khas pertanyaan yang tajam dan mengejar bak pemburu adalah ciri utama sang pemandu acara. Di tangan Nana; jangankan orang, kursi kosong saja bisa menjadi alat untuk menyoal narasumber hingga babak belur.

Drama menghadirkan kursi kosong itulah yang membuat Najwa Shihab trending beberapa hari kemarin. Gagasan itu --yang menurutnya biasa saja-- dianggap telah mendobrak kebuntuan sikap pejabat publik yang tidak kooperatif.

Kursi kosong yang dimaksud sedianya akan jadi tempat duduk Menkes Terawan terkait dengan penanganan wabah corona. Kursi  yang terlanjur menjadi kursi panas bagi sang menteri dan justru semakin panas ketika ia bersikeras menolak tunduk untuk hadir. Dulu yang bisa begitu cuma Prabowo dan Trump; sekarang ada Terawan.

Versi pemerintah, dokter TNI yang kurang akrab dengan IDI ini beralasan agar pernyataan-pernyataannya nanti tidak dipelintir menjadi cabang-cabang polemik baru yang tidak berkesudahan. Terawan juga berkilah bahwa dirinya sibuk dengan corona yang tak kunjung reda, yang harus dituntaskan secepatnya. Saat ini bukan waktunya untuk berwacana tapi bekerja. 

Juga ada disinggung pembelaan soal perwakilan yang diutus untuk hadir mewakili menteri tapi ternyata tidak mendapat tanggapan Mata Najwa. Demikian garis besar keterangan pihak Kemenkes.

Selain utusan atau perwakilan, soal narasumber informasi Covid-19 mestinya (bisa) bukan hanya menkes. Bisa ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo. Atau komandan baru yang spesial mengurus wilayah wabah dengan prioritas tinggi; Menko Luhut yang dikenal serbabisa dan selalu menangan.

Tetapi secara jurnalistik dokter Terawan mungkin lebih punya nilai jual, berkaitan dengan perselisihannya dengan IDI yang sudah berlarut-larut. Materi-materi pertanyaan seputar bagaimana kerjasama di lapangan misalnya. Apakah tidak ada kendala koordinasi dan sejauh manakah efektivitasnya dalam menggulung pandemi?

Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Dewi Soembarto, memberikan keterangan pers usai melaporkan Najwa Shihab dalam kasus kursi kosong untuk Menkes Terawan, 06/10/2020 (Yogi Ernes/ detik.com).
Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Dewi Soembarto, memberikan keterangan pers usai melaporkan Najwa Shihab dalam kasus kursi kosong untuk Menkes Terawan, 06/10/2020 (Yogi Ernes/ detik.com).
Respon terhadap Mata Najwa

Tanggapan atas drama kursi kosong cukup beragam, termasuk dari kubu pro Jokowi sendiri. Ada yang menganggap kritik Najwa adalah gejala umum. Ada pula yang menganggap sebagai sebuah penghinaan kepada pemerintah.

Golongan yang terakhir ini yang kemudian merisak dan mencaci Najwa dengan umpatan kotor. Bahkan ada pula yang sampai mengadukan masalah tersebut  ke pihak kepolisian, seorang pengacara perempuan.

Di kalangan sesama kubu Jokowi sendiri dan juga pihak yang relatif netral, para pengumpat Mata Najwa dianggap sebagai golongan lebay dan atau oportunis. Artinya, lebih banyak yang menilai wajar atau malah membela Mata Najwa.

Mantan bupati yang kini menjadi anggota DPR, Dedi Mulyadi, ikut-ikutan pula latah menginterogasi kursi kosong.

Politisi Golkar --pendukung pemerintah-- tersebut seperti hendak memparodikan kursi kosong Najwa dalam sebuah pertunjukan monolog singkat. Namun dari pertanyaan yang dilontarkan rasanya Dedi agak-agak menyindir Jokowi.

Pertanyaan Dedi kepada kursi seperti  berkaitan dengan kepergian presiden keluar istana (menengok food estate di Kalteng, 08/10/2020) ketika demo Omnibus Law UU Cipta Kerja sedang memuncak. Kebetulannya, insiden pesan "tak sengaja" yang  tayang di Mata Najwa juga terjadi ketika acara tersebut membahas UU Cipta Kerja itu.

Jika pesan tak sengaja memang dimaksudkan sebagai sebuah pesan, lantas amanat atau kesan apa yang ingin disampaikan si penulis lewat Mata Najwa? Apakah mungkin presenter yang terlalu populer seperti Najwa Shihab diintimidasi oleh pihak yang merasa dirugikan dengan acaranya?

Atau justru Mata Najwa dimanfaatkan orang atau kelompok orang yang ingin memberi kesan intimidatif rezim Jokowi. Dengan pesan bernada ancaman itu mau tidak mau imajinasi publik akan mengaitkan kritik dengan pembungkaman. Praktik yang lazim dilakukan di masa lalu.

Pembungkaman bukan gaya Jokowi

Soal intimidasi atau pembungkaman rasanya bukan gaya Jokowi yang dibesarkan dalam kultur partai yang pernah bersikap opositif, PDIP.

Sekarang tentu berbeda keadaannya; baik akibat pergeseran rezim yang berkuasa maupun sebab-sebab kemajuan teknologi. Zaman buruh Marsinah dahulu, suara kritis dan gugatan bisa berujung penganiayaan dan kematian.  Seperti juga kasus pembunuhan wartawan Udin yang tak pernah terungkap aktor utamanya. Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi pada masa kini, tapi jauh lebih sulit mengingat corong media ada di mana-mana. Pot kembang pun sekarang sudah bisa menguping.

Namun menyimpulkan bahwa insiden pesan dalam kertas bekas sebagai sebuah permainan akan membawa konsekuensi spekulatif soal apa dan siapa si pemilik pesan sesungguhnya.

Ketika polemik pandemi dan kisruh omnibus law semakin kompleks, peran insiden pesan dalam kertas bekas dapat digunakan untuk mengaburkan persoalan inti. Bahwa saat ini tidak ada dialog konstruktif yang dapat berjalan dan ada yang ingin mempertahankan kondisi itu. Semua berbicara lewat media tetapi semuanya terjadi secara serentak dan nyaris tanpa ada komunikasi.

Media multikanal dengan kelimpahan kapasitas penyimpanan data telah menjadi lautan argumentasi berbagai pihak dan kepentingan. Sayangnya anugerah kelimpahan tersebut tidak diiringi dengan elaborasi gagasan yang mengarah pada solusi efektif yang maslahat. Anugerah yang bikin tambah gerah.

Dalam kondisi tersebut logika penguasaan media berarti pula penguasaan opini publik. Siapa yang menguasai trending lebih lama maka dialah yang akan mendominasi versi kebenaran menurut kepentingannya.

Dengan situasi chaos ini tentu pihak yang dirugikan adalah pemerintah. Logikanya, jika keadaan tidak terkendali berlangsung lama maka citra kegagalan akan melekat. Tidak bagus secara politik.

Sebagai contoh, dalam demo omnibus law tiga hari kemarin di mana kita dapat melihat jelas adanya ketimpangan antara masalah yang didemo dengan kerusakan yang ditimbulkan. Sangat tidak proporsional. Demo lebih cenderung tampak sebagai gerakan sistematis yang destruktif, baik secara tematik maupun secara fisik.

Presiden Jokowi sendiri menyatakan bahwa disinformasi dan hoaks telah merusak maksud baik yang ingin dicapai pemerintah. Terlepas dari siapa yang lebih dulu buruk komunikasinya namun jelas sudah diakui bahwa kegagalan komunikasi telah terjadi.


Respon terhadap demo omnibus law pihak Jokowi

Tanggapan-tanggapan dari para menteri, kepala daerah, dan aparat mengarah pada indikasi gerakan by design. Terencana. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuding adanya pihak yang menjadi sponsor demo buruh dan mahasiswa plus STM. Demikian pula dari pihak kepolisian yang mencurigai anarko sindikalisme. Dari netizen yang setuju omnibus juga relatif sama begitu, dengan serangkaian bukti foto-foto yang mendukung. 

Pada lain pihak dari luar istana sudah pula ada sanggahan. Pers Partai Demokrat Ossy Dermawan membuat pernyataan sikap politik menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dan tetap bersama rakyat.

Soal respon yang sepadan tentu disayangkan jika pihak istana membuat pernyataan spekulatif. Kalkulasi kerusakan fasilitas publik dan produktivitas bernilai ratusan milyar tidak impas jika ditanggapi dengan pernyataan spekulatif. Sebagai otoritas yang menguasai alat-alat kekuasaan secara legal maka sudah menjadi kewajiban pihak eksekutif untuk membuktikan kecurigaan-kecurigaan yang diungkapkan.

Halaman 1 dari 2, pernyataan politik Demokrat menyikapi Omnibus Law UU Cipta Kerja gagasan pemerintah yang ditetapkan DPR, 09/10/2020 (twitter.com/ @OssyDermawan).
Halaman 1 dari 2, pernyataan politik Demokrat menyikapi Omnibus Law UU Cipta Kerja gagasan pemerintah yang ditetapkan DPR, 09/10/2020 (twitter.com/ @OssyDermawan).
Masalah teknis untuk mengusut atau menguak forensik semuanya pemerintah punya. Termasuk mengungkap misteri pesan dalam kertas bekas di acara Mata Najwa. Kalau mau. Yang punya hak secara hukum untuk menemukan kaitan antara  gejala kasat mata dengan motif dari aktor intelektual adalah pemerintah.

Rekaman CCTV, bukti komunikasi, foto unggahan warganet di media, laporan jurnalis, transaksi aliran dana; semuanya pemerintah bisa akses untuk membekuk si pembuat onar.

Dengan segenap kemampuan dan fasilitas yang luar biasa itu tentu bukan level jika pejabat pemerintah hanya mampu berwacana. Kalau cuma segitu kemampuannya lebih baik ngeblog saja.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun