Aksi unjuk rasa PA 212 menentang pembahasan RUU HIP urusannya kian melebar ke mana-mana.
Selain menyoal rancangan undang-undang yang berada di ranah legislasi DPR, massa juga menuntut pemakzulan Presiden Jokowi yang padahal RUU itu penggagasnya DPR pula. Yang patut disayangkan dalam demo tersebut adalah terjadinya insiden yang sensitif, pembakaran bendera PDIP.
Mengingat kompleksitas konteks dan kerawanan yang mungkin ditimbulkan, Menkopolhukam Mahfud MD perlu bersikap. Kebebasan menyuarakan aspirasi dan pendapat harus dikembalikan ke dalam koridor kehidupan demokrasi yang sehat.
Insiden pembakaran bendera seperti yang terjadi kemarin pernah pula terjadi di Garut, ketika GP Ansor (generasi muda NU) memperingati Hari Santri di alun-alun kota. Pada saat itu panitia mengamankan provokator penyusup yang membawa bendera identik HTI. Bendera tersebut kemudian spontan dibakar yang berujung tuntutan hukum kedua belah pihak (merdeka.com, 24/ 10/ 2018).
Ada perbedaan penting antara insiden Garut dengan kejadian pas demo RUU HIP tempo hari.
GP Ansor adalah organisasi legal sementara HTI adalah organisasi yang sudah dicabut izinnya oleh Kemenkumham. Atas dasar itu, masuk akal jika pemuda NU menganggap  bahwa keberadaan bendera khilafah di tengah massa sebagai indikasi penyusupan karena tidak termasuk atribut dalam agenda acara saat itu. Pembakaran bendera yang terjadi kemudian adalah aksi spontan pihak panitia yang merasa terganggu.
Dari aspek kepanitiaan saja tidak jelas ormas penanggung jawab penggalangan massa di tengah pandemi corona itu. Sangat rawan jika muncul korban jiwa seperti yang terjadi pada demo rekapitulasi Pemilu 2019 lalu. Peserta pun tampaknya tidak menghiraukan protokol pencegahan penyebaran virus Covid-19.
Sebagian media memberitakan bahwa aksi tersebut ditangani FPI dan kawan-kawan, tetapi ada pula yang menulis PA 212. Siapa pun, secara legalitas kedua ormas tersebut belum jelas statusnya.Â
Catatan beritasatu.com akhir tahun lalu menyebutkan FPI tak mau memperpanjang izin SKT meski sudah nyata-nyata kadaluwarsa. Sementara PA 212 yang konsisten mengelola isu politik belum diketahui bagaimana sangkan paraning dumadi-nya: apakah underbouw FPI, organisasi sayap, payung gerakan, kepanjangan parpol tertentu, atau ormas tersendiri.
Berbeda dengan FPI dan PA 212, PDIP bagaimanapun adalah parpol peserta pemilu yang sah dan eksistensinya diakui undang-undang. Dengan demikian ditinjau dari aspek legalitas, pembakaran bendera PDIP oleh massa PA 212 Â merupakan antitesis dari pembakaran bendera identik HTI oleh panitia Hari Santri GP Ansor di Garut.