Pemilu 2024 perlahan-lahan mulai menemukan bentuknya. Survei Indikator Politik Indonesia yang baru dipublikasikan menemukan fakta yang mengejutkan: rating PDIP dan Prabowo Subianto terkoreksi sangat dalam (kaltim.tribunnews.com, 10/ 06/ 2020).
Elektabilitas PDIP meluncur turun 7,6 persen, dari 29,8 pada Februari lalu menjadi 22,2 persen saat ini. Prabowo juga merosot drastis, dari 22,2 persen menjadi hanya 14,1 persen dalam survei tersebut. Artinya mantan capres 2019 itu kehilangan lebih dari 1/3 pemilih selama tiga bulan terakhir.
Sebelum membahas naik turunnya rating, yang perlu kita pahami dalam survei ini adalah waktu pengambilan sampel dan perubahan mood responden.
Kesimpulan yang disampaikan dalam pemaparan adalah berdasarkan perbandingan dengan laporan sebelumnya. Survei terkini dilakukan tanggal 16-18 Mei 2020; sedangkan yang terdahulu  dilakukan pada Februari 2020.
Ada perubahan kondisi yang mendasar dari kedua survei tadi.
Bulan Februari, masyarakat berada dalam suasana cukup normal tanpa pengaruh pandemi Covid-19 yang cukup berarti. Kasus corona sudah muncul tetapi masyarakat belum terlalu merespon karena dampaknya masih kecil. Tetapi pada sigi terakhir, responden  berada dalam kondisi pandemi yang sedang memuncak. Tekanan psikologis dan finansial bisa menjadi faktor penting dalam menentukan pengambilan keputusan politik seseorang.
Terkait perubahan mood responden, fakta penguat yang ditunjukkan dalam survei adalah perbedaan jumlah responden yang menjawab tidak tahu. Februari lalu jumlahnya sekitar 20 persen. Sementara survei terbaru menunjukkan,  jumlahnya meningkat menjadi 33.3 persen untuk survei partai dan mencapai 32,3 persen untuk survei tokoh.
Ketidakpuasan terhadap pemerintah, PDIP kena getah
Persepsi terhadap keberhasilan pemerintah pusat dalam menangani corona tampaknya mempengaruhi sikap responden terhadap partai utama yang mengusungnya. Kita hanya bisa  menyebut itu persepsi karena pandangan warga terhadap pemerintah pusat --dalam hal ini Jokowi-- adalah akumulasi dari sejumlah elemen yang bervariasi.
Ketika responden mengacu objek "Jokowi" maka sesungguhnya ia sedang menghitung resultan sejumlah faktor menyangkut kinerja kabinet, kinerja pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), juga penilaian media.
Masih menurut Indikator, penilaian terhadap kinerja Jokowi menunjukkan ada penurunan; saat ini tingkat kepuasan kinerja sebesar 66,5 persen, sedangkan sebelumnya 69,5 persen (kumparan, 07/ 06/ 2020).
Lantas, mengapa penilaian terhadap Jokowi menurun 3 persen tetapi PDIP merosot 7,6 persen? Jawabannya terletak pada sifat kelompok penilai.
Yang menilai Jokowi adalah responden lintas partai, sedangkan yang menilai partai otomatis pemilih partai itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan dari peningkatan jumlah responden abstain yang kemungkinan besar adalah kelompok pemilih rasional. Responden yang menjawab tidak tahu bisa jadi sebagian besarnya adalah pemilih yang meninggalkan PDIP; jumlah mereka lebih banyak dibanding dengan mereka yang skeptis terhadap kinerja Jokowi.
Selain faktor persepsi kumulatif terhadap performa Jokowi dan kecenderungan pemilih rasional; mau tidak mau kita juga melihat internal PDIP sendiri dalam 3 bulan terakhir.
Kasus Harun Masiku masih memberikan sentimen negatif. Pemberitaan media yang mengangkat isu raibnya politisi partai banteng ini langsung atau tidak langsung berkorelasi dengan penilaian terhadap partai.
Selain kasus Masiku, dalam rentang periode pengambilan sampel, terjadi perseteruan yang cukup heboh antara Arteria Dahlan  dengan Najwa Shihab. Politisi DPR RI dari PDIP itu membidik presenter Narasi TV terang-terangan dengan cara yang tidak proporsional.
Kritikan Najwa terhadap parlemen secara kelembagaan dibalas Arteria dengan serangan personal yaitu ancaman membuka aibnya di depan publik. Hal tersebut tentu tidak etis dan sangat mungkin membuat citra PDIP jatuh menjadi partai yang antikritik.
Artikel terkait: Arteria Dahlan Vs. Najwa Shihab
Survei Indikator terakhir jangan-jangan merupakan sinyal bahwa PDIP sedang dihukum akibat komunikasi yang buruk para politisinya. Pemilih atau responden rasional memiliki jumlah yang signifikan. Mereka bisa mengontrol naik turunnya pilihan politik untuk mengimbangi kecenderungan massa ideologis.
Pesannya, janganlah menjadi arogan setelah tampil sebagai pemenang tetapi tetaplah rendah hati di depan kritik publik atau media. Apalagi kritik yang relatif objektif dan tidak tendensius.
Prabowo siap maju tapi dukungan semakin kendor
Membaca hubungan antara hasil survei Jokowi-PDIP dengan Prabowo-Gerindra kita seperti dihadapkan pada realitas yang terbalik.
Gerindra memang juga menurun elektabilitasnya menurut survei Indikator, tetapi Prabowo-nya yang jatuh lebih parah. Hal tersebut bertolak belakang dengan perolehan  yang diraih Jokowi-PDIP.
Dalam laporan Februari, Gerindra memiliki elektabilitas 16,2 persen yang berarti turun 1 persen menjadi 15,2 persen pada saat ini. Sementara Prabowo yang dulunya menjulang setinggi 22,2 persen sekarang menjadi lebih tawadhu, cukup 14,1 saja.
Dengan hasil tersebut, elektabilitas Prabowo terpangkas signifikan dibanding kompetitor terdekatnya. Februari, Prabowo masih terpaut lebih dari 10 persen dari Anies Baswedan yang jadi runner up. Sementara saat ini selisih Prabowo dengan Ganjar Pranowo di posisi dua hanya 3,3 persen saja. Meskipun masih menang tetapi penurunan selisih dari 10 persen jadi 3 persen adalah alarm bahaya yang harus diperhatikan.
Prabowo seperti dikatakan Sekjen Gerindra siap maju dalam  Pilpres 2024.
Ahmad Muzani (tempo.co, 10/ 06/ 2020):
"Selama kekuatan, selama hayat masih dikandung badan, selama itu diminta oleh kader, selama partai memanggilnya, beliau (Prabowo) Insya Allah akan siap menghadapi, akan siap memikul beban tugas partai tersebut."Â
Jika arah koalisi Gerindra-PDIP tetap fixed hingga 2024 maka Prabowo bisa berdampingan dengan Puan yang elektabilitasnya masih 1,4 persen. Memang skor Ketua DPR itu masih jauh dibanding kandidat-kandidat yang berlatar belakang sebagai kepala daerah. Tetapi modal politik Puan cukup besar dan penilaian survei masih bisa berubah.
Peluang duet Prabowo-Ganjar juga bisa terjadi asalkan elektabilitas Ganjar konsisten 2 digit dan Ketum PDIP nanti mau berbesar hati. Tetapi Prabowo sendiri tentulah harus introspeksi diri. Selain lewat prestasi sebagai menteri pertahanan, relasinya dengan kalangan jurnalis juga mesti direnovasi. Kalau perlu berubah dari media enemy dahulu menjadi media darling sekarang.
Dalam kabinet saat ini bintang Prabowo boleh dikatakan tidak redup tidak juga cemerlang, biasa-biasa saja. Tetapi jika dibandingkan dengan Menhan Ryamizard pada masanya, Prabowo relatif terlihat kurang pede.
Dua kemunculannya yang cukup dikenal publik adalah ketika berkomentar soal Natuna dan kesaksian bahwa Jokowi bekerja keras. Sebagai menhan tentu Prabowo sebenarnya bisa lebih dari itu. Selama momentum Covid-19 Prabowo relatif jarang tampil di media dengan impact  yang mengesankan.
Dominannya Menko Luhut di antara menteri-menteri Jokowi tidak bisa jadi alasan ciutnya penampilan Prabowo. Toh dulu juga Ryamizard Ryacudu bersanding dengan Luhut, dan tetap eksis hingga kadang malah terasa sedikit berlebihan.
Apakah Prabowo traumatik menghadapi tekanan publisitas para kuli tinta?
Selama masa-masa kampanye pilpres dahulu Prabowo kerap berseteru dengan awak media yang mana tentu perlu waktu untuk memulihkannya lagi. Tetapi jika tetap buruk bagaimana mau maju pilpres jika hubungan dengan media tidak bagus. Rakyat tentu tidak menginginkan pemimpin yang alergi terhadap sorotan kamera.
Demikianlah beberapa hal yang bisa kita dapatkan sementara dari catatan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis kemarin. Penilaian terbuka seperti itu di alam demokrasi merupakan salah satu alat kontrol agar partai dan politisi dapat menunjukkan performa yang lebih baik. Yang bagus dipilih, yang jelek tinggalkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H