Bertepatan dengan hari ulang tahun Suharto 8 Juni 2020, lewat akun instagram, Siti Hardijanti Rukmana menulis ulang detik-detik lengsernya presiden kedua tahun 1998. Menurut putri sulung Suharto yang akrab dipanggil Mbak Tutut itu, ayahnya adalah seorang negarawan yang tidak akan meninggalkan gelanggang (baca: tanggung jawab).
Mbak Tutut (detik.com, 08/ 06/ 2020):
"Mendengar jawaban bapak, rasa bangga dan haru, tak dapat dibendung. Bapakku seorang negarawan dan ksatria. Tidak akan "tinggal glanggang colong playu."
Catatan tersebut tampaknya merupakan pengingat bagi Tutut sendiri untuk terus menyampaikan kepada publik berbagai jasa dan peran Suharto. Pascareformasi yang menghentikan kekuasaan orde baru, politik Indonesia relatif kurang bersahabat dan tidak lagi akomodatif menyuarakan kepentingannya.
Golkar sebagai kendaraan politik Suharto dahulu, kini dipegang kubu yang berkoalisi dengan petahanan. Demikian juga usaha-usaha mendirikan partai baru yang selalu gagal. Mulai PKPB (Partai Karya Peduli bangsa), Nasrep (Nasional Republik), Pakar (Partai Karya Republik) hingga yang terakhir Partai Berkarya besutan Tommy Suharto.
Selain Sukarno dan Suharto sebenarnya masih ada Habibie dan Jokowi sebagai presiden yang lahir Juni. Tetapi (lagi-lagi) kedua sosok tersebut  tidak dapat memberikan dukungan eksistensial bagi Suharto selama Juni berjalan pada setiap tahunnya.
Habibie adalah menteri kesayangan Presiden Suharto hingga kemudian diangkat menjadi wakilnya. Tetapi sejak serah terima jabatan kepresidenan tahun 1998, hubungan Suharto dengan Habibie menjadi kurang bagus.
Hubungan yang kurang harmonis  itu berlanjut pada penerus daripada Suharto sendiri. Tutut cenderung bercerita dalam tone yang negatif ketika berbicara perihal Habibie. Salah satu contoh yaitu hilangnya fasilitas pengamanan istimewa gara-gara keputusan mantan menristek tersebut (tribunnews.com, 08/ 06/ 2020).
Habibie (yang sekarang sudah wafat) saja tidak, apalagi Jokowi.
Secara pribadi, Jokowi yang tidak punya tradisi merayakan ulang tahun pasti tidak bermasalah dengan urusan kelahiran orang lain, termasuk Sukarno maupun Suharto. Tetapi keputusannya menetapkan 1 Juni sebagai Hari Pancasila adalah keputusan politik yang secara tidak langsung "merevisi" gagasan Suharto.
Masyarakat Indonesia jadi memperoleh penjelasan tentang proses kelahiran Pancasila secara rutin dengan sosok sentral Sukarno sebagai bintang utama. Dan itu terjadi setiap Juni.
Problem paling mendasar terletak pada legacy ideologi daripada Suharto. Pemikiran-pemikirannya mungkin terdokumentasi dengan baik akan tetapi tidak dapat diterjemahkan ke dalam rumusan yang aplikatif dan siap pakai.