Yang sudah khatam PSBB  jilid 1 terus lanjut ke jilid 2. Yang dulu belum pernah sekarang antri mau minta, sesuai wilayah kekuasaan masing-masing. Seakan membuat gong pamungkas,  FKM-UI usul, sekalian  saja terapkan PSBB tingkat nasional.
PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar; barangkali ada yang lupa kepanjangannya.
Kurang sreg sebenarnya berpikir antroposentris  dan terlalu administratif minded dalam menghadapi pandemi global.  Depan belakang, kiri kanan kita dikepung; corona tidak mengenal batas kelurahan, kecamatan, atau provinsi; migrasi ke mana-mana tak perlu visa. Kita tidak bisa mendikte virus mematuhi batas khayali satu area sesuai persepsi kita. Tapi sebagai manusia yang berakal kita bisa menjejaki  bagaimana perilaku makhluk mikro itu.
Beberapa waktu lalu Dahlan Iskan lewat blog-nya sempat mengulas gagasan pool test Hafidz Ary Nuryadi untuk meminimalisir kemubaziran PSBB dan tes corona massal (disway.id, 24/04/2020).
Yang perlu kita kejar untuk diisolasi adalah orang yang terinfeksi di satu wilayah kecil terlebih dahulu. Kalau ada, kuncilah daerah itu, katakanlah tingkat RT. Kalau ada beberapa RT lanjut tingkat kelurahan, dan begitu seterusnya. Â Tidak efisien jika gara-gara satu dua kelurahan zona merah lalu 1 provinsi disekat besar-besaran. Ekonomi penanganan wabah juga harus kita ulik ilmunya.
Mengekang orang  dari struktur atas terlebih dahulu (top down) berpotensi kemubaziran. Orang atau area yang sehat malah jadi tidak produktif gara-gara terkurung PSBB. Teori pool test sebaliknya, bergerak dari bawah ke atas atau bottom up. Faedahnya agar tidak banyak orang sehat yang tersandera corona.
Betul yang dikatakan Jubir Corona, Achmad Yurianto, bahwa urusan Corona kini sudah bukan lagi berdimensi kesehatan tetapi sudah multidimensi.
Ekonomi ikut terseret, sosial keamanan juga terbawa serta. Pandemi bukan hanya urusan epidemiologi  semata  tetapi sudah menyangkut ilmu-ilmu lain hingga ke ranah sosial; karena dampaknya.
Achmad Yurianto, Jubir Satgas Covid-19, (detik.com, 01/05/2020):
"Kalau Indonesia selesai, apa masih selesai? Wong banyak orang luar negeri yang datang ke Indonesia. Ini pandemi, bukan masalah Indonesia, ini masalah dunia. Atau PSBB seluruh dunia? Terlalu kecil kalau menganggap COVID itu masalah Indonesia."
Orang kena virus memang bisa mati kalau tidak diurus, tetapi yang tidak makan berhari-hari apakah tidak bisa mati? Contoh sudah banyak, di Tangerang tempo hari seorang ibu rumah tangga meninggal setelah dua hari sempat lapar; hanya minum air galon. Di lokasi lain-lain kasus bunuh diri akibat tekanan psikis sudah terjadi; belum meningkatnya kriminalitas karena terdesak kebutuhan pangan.
Jika ada 1 juta orang Indonesia yang sakit perlu perawatan maka 269 juta lainnya harus terus sebisa mungkin produktif beraktivitas, menopang yang 1 juta itu.
PSBB bisa mengerem laju kontaminasi virus pada orang sehat, namun PSBB bukan solusi untuk menyelesaikan semua persoalan. Karena kita pegang palu tidak lantas semua benda bisa kita pentung sebagai paku. Perlawanan yang kita berikan harus paralel: menahan laju penyebaran virus, sekaligus tetap produktif agar justru dapat membiayai  penanganannya itu.
Perlu kita camkan baik-baik, vaksin dan obat corona yang ada masih jauh dari 90 % kemanjurannya. Yang sedang berjalan saat ini adalah pengobatan yang masih perlu uji klinis. Perlu 1-2 tahun paling cepat hingga dapat diproduksi secara massal. Lalu selama 1-2 tahun itu, atas nama PSBB, apakah kita hanya akan berpangku tangan makan subsidi dari pemerintah?
Dengan membuat peraturan orang tinggal di rumah maka konsekuensi logisnya adalah kebutuhan pangan harus tercukupi. Karena tidak produktif maka sumber daya cadangan pun akan habis. Jika tidak punya simpanan maka negaralah yang harus turun dana talangan.
Tapi sampai kapan negara punya uang jika rakyat tidak bekerja?
Karena perang lawan corona toh perlu biaya; maka logika yang  masuk akal adalah kita juga harus tetap produktif berkarya. Tidak ada badan internasional atau negara kaya yang akan jadi donor gratisan, semua ada imbalannya. Dalam rangka menjaga produktivitas itulah kita perlu merumuskan strategi  selektif.
Rumus dasarnya adalah  mengurung warga terinfeksi atau memblokade zona merah, dan beri peluang warga sehat untuk  terus produktif bekerja. Sinar matahari dan air yang melimpah dan lahan luas bisa diolah menjadi berkah. Tetapi kita harus mengerjakan itu  di lapangan, tidak bisa terus-terusan kita WFH.
![Aktivitas di sekolah yang sudah kembali dibuka di Taiwan saat pandemi global masih berlangsung, guru dan siswa mengenakan masker dan pelindung wajah (time.com).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/05/02/asia-reopening-coronavirus-5eacb2ded541df131e1661f2.jpg?t=o&v=770)
Di Yogyakarta 53 tenaga medis harus jalani tes swab corona karena ulah mereka. Di RS Kariadi Semarang 46 tenaga medis terkonfirmasi positif corona. Juga ada kasus serupa di Grobogan dan Pelalawan, Riau. Â Di Surabaya muncul juga di pabrik rokok, bukan di rumah sakit. Jangan-jangan di zona PSBB pun ada pula, namun tersamarkan karena status zona sudah terlanjur merah.
Lolosnya pasien pembohong itu terjadi karena dengan sederet aturan dan prosedur membuat kita berpikir bahwa semua lancar dan orang-orang paham. Auto-husnuzon, lupa untuk selalu pasang mode curiga atau skeptis. Padahal, naluri untuk bersikap curigation saat ini sedang dibutuhkan dan bisa menyelamatkan. Karena virus pandai sembunyi dan pasien bisa tega berdusta maka staf medis/ paramedis perlu  bekal jiwa detektif untuk mengungkap  pengelabuan mereka.
Di luar persoalan di atas; para akademisi, IDI dan institusi-institusi kesehatan lain harus sinergi bersicepat menemukan obat lewat kajian klinis. Khusus untuk  orang Indonesia.
Apa yang mujarab di India belum tentu cocok dengan orang Jakarta; strain virusnya mungkin beda. Vaksin produksi Amerika belum pasti aman bagi kita karena genetika bangsa-bangsa  tak seutuhnya identik. Itulah pentingnya uji klinis yang saat ini prosedurnya sudah di-shortcut sedemikian parah; dari normal  waktu 5-10 tahun diakselerasi  jadi cuma 1-2 tahun.
Bill Gates tentang ketersediaan vaksin corona (fortune.com, 27/04/2020):
"If everything went perfectly, we'd be in scale manufacturing within a year. It could be as long as two years."
Data pasien yang meninggal memang perlu, tetapi kita tidak bisa terus menunggui kuburan menghitung jumlah galian. Bukankah 1 nyawa hilang katanya adalah tragedi, lalu mengapa kita tidak fokus menyelamatkan pasien yang sedang dalam perawatan.
Soal membuat model  perkiraan kurva-kurva pandemi memang juga penting untuk pegangan, tetapi  siklus real kebutuhan logistik rumah sakit juga perlu diperhatikan. Setiap komponen perlu dikaji beriringan agar penanganan semakin efektif dan efisien. Jangan malah kita terbuai perlombaan membuat kurva.
Pandemi masih akan cukup lama, setidaknya 1-2 tahun itu, meski kita ingin lepas secepatnya. Tanpa sinergi kekuatan semua pihak masa itu bisa lebih lama, korbannya juga bisa lebih banyak. Kita mestinya tidak  terus parkir  bus PSBB di depan gawang, saatnya  telah tiba untuk menyerang jantung pertahanan musuh. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI