Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dikritik Ekonom INDEF, Kartu Prakerja Memang Bukan Obat Covid-19

14 April 2020   14:22 Diperbarui: 14 April 2020   14:33 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartu Prakerja (radartegal.com).

Pemerintah sudah meluncurkan program kartu Prakerja mulai 11 April 2020 lalu. Momentumnya yang yang berbarengan dengan merebaknya wabah virus corona tak ayal mendapat kritikan beberapa pihak.

Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa Kartu Prakerja yang diluncurkan pemerintah tidak tepat untuk mengatasi dampak ekonomi akibat wabah corona. 

Menurut Bhima saat ini bukan waktunya  untuk meningkatkan skill korban PHK karena berasumsi bahwa kartu Prakerja hanya dapat digunakan untuk kondisi normal (tribunnews.com, 13/04/2020).

Sayangnya, Bhima tidak mengajukan alternatif jalan keluar bagaimana seharusnya para korban PHK itu mengisi hari-hari di rumah kala virus corona masih meraja. 

Bantuan Langsung Tunai (BLT) secara cash/ transfer yang diusulkannya juga terasa kurang mendidik. Sementara, lewat kartu Prakerja masyarakat terdampak punya kemungkinan untuk menguasai keterampilan baru yang bermanfaat untuk memberdayakan diri sendiri.

Bhima Yudhistira, Ekonom INDEF:

"Sedangkan model pelatihan online pra kerja kurang tepat di saat pandemi, ini bukan waktunya untuk meningkatkan skill korban PHK."

Pada saat ini seperti yang kita ketahui bersama, jutaan tenaga kerja formal dan informal di Indonesia terdampak oleh ganasnya pandemi Covid-19 baik langsung maupun tidak langsung.

Mereka terpaksa berhenti bekerja, diberhentikan sementara, atau bahkan permanen. Banyak usaha kecil dan menengah tutup tanpa ada kepastian kapan akan buka usaha kembali. Perusahaan besar pun sebagian ikut puasa, aktivitas kerja mereka dijeda untuk sementara waktu.

Dengan penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) memang sebagian kegiatan ekonomi penting masih bisa bergerak. Tetapi solusi untuk memberdayakan angkatan kerja yang dirumahkan juga perlu segera direalisasikan.

Dalam kondisi ekonomi yang semakin melambat, program kartu Prakerja senilai Rp 20 triliun yang dirilis pemerintah itu terbukti mendapat sambutan hangat. 

Gelombang perdana pembukaan langsung diserbu 1,4 juta peminat, bersaing agar bisa lolos seleksi batch I memperebutkan kuota sejumlah 164.000 kartu. Keseluruhan ada 30 batch, dengan jumlah penerima manfaat diproyeksikan sebanyak 5,6 juta orang.

Fitur kartu Prakerja itu sendiri secara ekonomis cukup menarik, baik bagi kalangan milenial (usia 18-20 tahunan) maupun bagi pekerja/ karyawan yang menjadi korban PHK. Selain kedua kelompok itu, kalangan UKM/ UMKM juga mendapat prioritas untuk memperoleh manfaat kartu Prakerja.

Meskipun tidak terlalu besar untuk ukuran situasi normal, tapi dalam suasana kepepet uang recehan pun terasa bak seteguk air di padang pasir.

Total nilai nominal kartu Prakerja sebesar Rp 3.550.000 yang ditransfer secara digital. Sebanyak Rp 1.000.000 hanya bisa digunakan untuk biaya pelatihan online/ offline. 

Kemudian Rp 150.000 untuk insentif mengisi survei jika sudah selesai menyelesaikan suatu pelatihan. Lalu  sisanya Rp 2.400.000 diberikan sebagai insentif yang diberikan bertahap Rp 600.000/ bulan.

Saat kehidupan warga berjalan normal, duit Rp 600.000 itu mungkin cuma setara dengan rata-rata uang saku anak sekolah di Jakarta. Tetapi dapat kita bayangkan, bagi keluarga yang tidak mampu uang sebanyak itu bisa berarti beras dan lauk pauk sangat sederhana yang  cukup untuk sebulan.

Efek domino lain yaitu start up (dan unicorn) bidang pendidikan/ latihan online yang menjadi mitra program jadi ikut terbantu. Mereka dapat bertahan dari gempuran krisis finansial akibat menurunnya daya beli masyarakat sembari ikut berkontribusi meningkatkan kualitas SDM secara nasional.

Secara teknis memang pelatihan atau kursus online itu memiliki keterbatasan. Hanya ilmu atau bidang tertentu yang dapat terakomodir seperti kursus TOEFL, programming computer, atau administrasi. 

Tetapi, bagaimana caranya agar pelatihan beternak itik, bertanam palawija, memperbaiki AC atau montir mobil dapat berlangsung secara baik? Hampir mustahil jika diselenggarakan hanya dengan mengandalkan kuliah online semata.

Pada sisi inilah pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan potensi khas daerah masing-masing, bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) atau dinas-dinas terkait. Petani di kaki bukit atau petani empang cocoknya tentu bukan meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris.

Pada masa di mana mobilitas terhambat akibat pandemi Covid-19, peningkatan kualitas SDM lewat pelatihan adalah langkah yang cukup taktis. 

Secara psikologis, secercah harapan yang terbit di tengah gelapnya ketidakpastian ekonomi global bisa berarti sirnanya kegelisahan. Angkatan kerja yang menumpuk terlalu lama dalam jumlah besar bisa berubah menjadi bom waktu setiap saat. Muda dan berbahaya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun