Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Thermal Scanner di Istana, Bagaimana Virus Bisa Lolos?

15 Maret 2020   10:07 Diperbarui: 15 Maret 2020   10:20 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Breaking news kemarin sore tentang confirmed case nomor 76 mengagetkan kita semua. Fakta bahwa Menhub Budi Karya Sumadi positif terinfeksi virus Corona membuktikan bahwa lingkaran istana tak kebal wabah (kompas.com, 14/3/2020).

Sebelumnya kita mendengar pejabat tinggi terinfeksi itu di luar negeri, antara lain di Iran dan Kanada. Tetapi saat ini kita sendiri mengalami.

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus pertama 2 Maret 2020, besoknya istana dipagari thermal scanner. Semua akses masuk dipasang alat, dan tak satu pun boleh lewat kecuali telah dipindai suhu tubuhnya terlebih dulu. Dan harus normal. Yang menunjukkan gejala demam tidak boleh masuk.

Lalu dengan kasus 76 itu masih perlukah thermal scanner dipasang?

Tetap perlu! Termasuk di bandara-bandara yang isunya kadang tidak diawasi petugas. Begitu longgar. Presiden sendiri sudah mengatakan bahwa alat itu tidak 100% akurat. Apalagi jika tidak dipantau.

Dalam Pedoman Kesiapsiagaan COVID-19 yang ditetapkan kemenkes 17 Februari 2020 (versi revisi) disebutkan bahwa untuk kelompok orang dengan kategori kontak erat (pernah berinteraksi dengan pasien positif Corona) ada 3  tindakan yang harus dilakukan:

1. Observasi;

2. Pemeriksaan spesimen (tes Corona);

3. Pemantauan selama 2 minggu.

Jika dalam 2 minggu tersebut muncul gejala yaitu demam, batuk/ flu, atau sesak napas; maka yang bersangkutan perlu dicek ke rumah sakit rujukan untuk diperiksa lebih lanjut.

Kesimpulannya, justru thermal scanner semakin penting perannya untuk menangkap tanda-tanda jika ada pengunjung yang memperlihatan gejala demam di istana.

Memang ada perbedaan antara alat pemindai di bandara dengan yang ada di istana.

Di bandara petugas memantau suhu kelompok orang lewat monitor, sedangkan di istana suhu pengunjung diperiksa orang per orang. Lebih akurat dari segi ketidakmungkinan lolos pemeriksaannya.

Pemindai panas tubuh itu hanya untuk mengukur suhu, tetapi tidak bisa memindai keberadaan virus. Apalagi sampai menghitung jumlah dan jenisnya. Tidak bisa. 

Pemasangannya dimaksudkan hanya sebatas untuk membedakan apakah seseorang terserang gejala demam atau tidak. Tidak mampu lebih dari itu. Juga belum tentu yang demam itu kena Corona. Bisa saja yang bersangkutan sedang meninggi suhu tubuhnya akibat terserang flu biasa.

Infeksi SARS CoV-2 penyebab wabah Corona tidak selalu menimbulkan gejala demam pada korbannya. Jika kondisi kekebalan tubuh baik maka perubahan suhu tubuh tidak akan terjadi.

Hal inilah yang menjelaskan mengapa bisa muncul imported case --kasus Corona dari luar negeri-- padahal bandara dan pelabuhan sudah disaring thermal scanner.

Lalu bagaimana sebaiknya istana melakukan antisipasi penularan di lingkaran elit pemerintahan?

Dalam 14 hari terakhir Menhub Budi bertemu Jokowi 2x, Ma'ruf Amin 1x, lalu berinteraksi dengan sejumlah menteri. Termasuk menghadiri rapat terbatas di istana (batam.tribunnews.com, 15/3/2020).

Salah satu rapat terbatas yang dihadiri Menhub Budi Karya Sumadi di istana dalam 14 hari terakhir (batam.tribunnews.com).
Salah satu rapat terbatas yang dihadiri Menhub Budi Karya Sumadi di istana dalam 14 hari terakhir (batam.tribunnews.com).
Langkah Kemenkes melakukan tes atau uji Corona kepada seluruh menteri adalah langkah yang tepat. Termasuk presiden dan wakil presiden dan staf lain, tidak boleh melewatkan proses pemeriksaan tersebut.

Tes yang dilakukan semisal uji sputum, bronchoalveolar lavage/ uji BAL, atau PCR/ polymerase chain reaction. 

Tetapi tes semacam itu pun bisa saja keliru, tidak sungguh-sungguh 100%. Maka untuk mengatasinya, prosedur pengulangan mutlak diperlukan. Kasus salah uji pernah menjadi bahan pertengkaran antara Kamboja dan Malaysia (disway.id, 24/2/2020).

Di depan Corona kita semua sama, persona non grata.

Karena pejabat negara itu mobilitasnya tinggi, maka secara logika probabilitasnya juga besar untuk bertemu banyak orang; sesama pejabat atau rakyat biasa. Mereka bisa menjadi korban, tapi juga dapat berperan sebagai "pelaku" penyebaran.

Oleh karena itu tes Corona perlu dilakukan berkala di istana setelah muncul kasus nomor 76. Agar deteksi bisa dilakukan sedini mungkin.

Merawat pasien warga biasa dengan seorang menteri mungkin sama biayanya. Tetapi biaya tak terlihat jauh lebih tinggi, intangible. 

Pejabat yang sakit tentu akan meninggalkan banyak agenda tertunda, meskipun mungkin akan ada pejabat ad-interim yang akan menggantikan.

Di luar pejabat pemerintah pusat, anggota legislatif di Senayan juga perlu waspada. Belajar dari Iran. 

Kegiatan yang tidak urgen dipangkas, gaya hidup sehat dibiasakan. Bagi mereka uang dan fasilitas tidak masalah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun