Pemasangannya dimaksudkan hanya sebatas untuk membedakan apakah seseorang terserang gejala demam atau tidak. Tidak mampu lebih dari itu. Juga belum tentu yang demam itu kena Corona. Bisa saja yang bersangkutan sedang meninggi suhu tubuhnya akibat terserang flu biasa.
Infeksi SARS CoV-2 penyebab wabah Corona tidak selalu menimbulkan gejala demam pada korbannya. Jika kondisi kekebalan tubuh baik maka perubahan suhu tubuh tidak akan terjadi.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa bisa muncul imported case --kasus Corona dari luar negeri-- padahal bandara dan pelabuhan sudah disaring thermal scanner.
Lalu bagaimana sebaiknya istana melakukan antisipasi penularan di lingkaran elit pemerintahan?
Dalam 14 hari terakhir Menhub Budi bertemu Jokowi 2x, Ma'ruf Amin 1x, lalu berinteraksi dengan sejumlah menteri. Termasuk menghadiri rapat terbatas di istana (batam.tribunnews.com, 15/3/2020).
Tes yang dilakukan semisal uji sputum, bronchoalveolar lavage/ uji BAL, atau PCR/ polymerase chain reaction.Â
Tetapi tes semacam itu pun bisa saja keliru, tidak sungguh-sungguh 100%. Maka untuk mengatasinya, prosedur pengulangan mutlak diperlukan. Kasus salah uji pernah menjadi bahan pertengkaran antara Kamboja dan Malaysia (disway.id, 24/2/2020).
Di depan Corona kita semua sama, persona non grata.
Karena pejabat negara itu mobilitasnya tinggi, maka secara logika probabilitasnya juga besar untuk bertemu banyak orang; sesama pejabat atau rakyat biasa. Mereka bisa menjadi korban, tapi juga dapat berperan sebagai "pelaku" penyebaran.
Oleh karena itu tes Corona perlu dilakukan berkala di istana setelah muncul kasus nomor 76. Agar deteksi bisa dilakukan sedini mungkin.