Pemprov DKI meluruskan polemik peta risiko wabah COVID-19 yang viral di medsos. Peta tersebut merupakan bagian dari penjelasan tentang risiko penularan virus Corona di DKI, terutama moda transportasi terutama rute KRL-2, Bogor-Depok-Jakarta (detik.com, 12/3/2020).
Penjelasan tersebut sendiri merupakan bagian dari langkah-langkah mitigasi dan membangun kewaspadaan terhadap pandemi COVID-19.
Tetapi apa langkah nyata Pemprov DKI selain membuat posko di ruang ber-AC dan simulasi risiko kontaminasi?
Pemprov bisa mencontoh sejumlah tindakan nyata PT KCI; di antaranya: membagikan masker, hand sanitizer di gerbong, cleaning on trip, serta himbauan tertulis. Aksi tersebut sudah dilakukan sejak awal Februari lalu.
Langkah nyata tersebut bermanfaat, tapi beberapa hal perlu kita kritisi. Misalnya pembagian masker di stasiun KRL atau MRT.
Pembagian masker itu penting. Tetapi siapa yang menerima pembagian masker itu harus nyambung dengan narasi urgensinya. Masker harus dipakai oleh orang yang terserang flu, yang terpaksa harus berada di ruang publik. Bukan orang yang sehat.
KRL atau MRT on trip semestinya juga menyediakan masker. Agar sewaktu-waktu petugas bisa memberikan kepada penumpang yang batuk-batuk tetapi tidak mengenakan  alat pelindung tersebut.
Bus Transjakarta on trip juga perlu menyediakan masker. Risiko penularan di dalam moda transportasi padat penumpang sangat tinggi, apa pun bentuknya.
Logikanya, ODP (Orang Dalam Pemantauan) tentu tidak hanya terbatas menggunakan kereta, bisa beralih kendaraan menggunakan bis. Jika simulasi kontaminasi virus Corona itu berdasarkan data populasi ODP maka seharusnya juga Pemprov DKI memperhatikan bus Transjakarta.
Tidak perlu setiap penumpang diberi masker. Satu karcis, satu masker; itu tidak efisien. Kita kembalikan konteksnya pada prinsip penggunaan masker: yang sakit flu lebih perlu.