Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Wabah Corona Masuk Indonesia, Jokowi Perlu Evaluasi Sistem Penanganannya

2 Maret 2020   20:02 Diperbarui: 3 Maret 2020   08:06 4082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi kasus pertama wabah Corona di Indonesia, (kompas.com, 1/2/2020).

Dari kronologis kejadian dan proses-proses penanganan warga yang terdampak sebelum itu, pemerintah tampaknya perlu mengkaji ulang cara penanggulangan. 

Pendekatan minimalis yang bertujuan menghemat biaya harus beralih menjadi pendekatan optimal agar justru terhindar dari risiko yang lebih besar. Kecenderungan sikap untuk menunggu (pasif) harus diubah jadi memburu (proaktif), bergerak cepat menemukan buronan si Covid-19 itu.

Dua warga Depok di Perumahan Studio Alam Indah, NT  (wanita, 31 tahun) dan ibunya MD (64 tahun) dinyatakan terinfeksi virus Corona, Covid-19. Keduanya sudah dirawat di RSPI Sulianti Saroso Jakarta.

NT dan MD tinggal di rumah yang dihuni oleh 4 orang. Dua penghuni lain tidak dirawat dengan alasan tidak menunjukkan gejala sakit flu atau demam.

Dari awal mula pasien tersebut terinfeksi hingga diketahui positif Covid-19, ternyata rentang waktunya cukup lama. Keterlambatan informasi mestinya dapat dipangkas dengan membentuk pusat krisis yang cepat tanggap mengambil tindakan.

Tanggal 14 Februari, bertepatan acara Valentine, NT mengikuti acara klub dansa di Paloma & Amigos, Jakarta. Dalam acara itu NT bertemu dengan warga negara Jepang yang berdomisili di Malaysia yang kemudian diketahui terinfeksi virus Corona.

Dua hari berikutnya, 16 Februari, NT sakit batuk  dan sesak napas disertai demam; berlangsung selama 10 hari. Setelah itu, 26 Februari, barulah NT memeriksakan diri di RS Mitra Keluarga Depok. Diagnosanya, terserang bronchopneumonia yang sudah mengarah pada dugaan virus Covid-19.

Setelah 3 hari NT kemudian dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso. Kemarin sudah diambil specimen BAL (bronchoalveolar lavage) dan hari ini ia diputus mengidap Covid-19.

Untuk pasien kedua yaitu MD, rupanya sudah tertular "flu" dari NT sejak 20 Februari dengan gejala sama. Tanggal 22 Februari MD diperiksa di RS Mitra Keluarga dengan diagnosa terkena demam tifoid dan ISPA  (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).

Sama dengan NT, MD juga sama-sama dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso tanggal 29 Februari dan juga sama-sama divonis mengidap Covid-19.

Kecepatan penanganan, faktor yang menentukan

Melihat dari kasus NT dan MD kita melihat begitu lama jeda waktu antara diagnosa awal di RS Mitra dengan konfirmasi hasil uji specimen virusnya di RSPI Sulianti Saroso.

NT didiagnosa tanggal 26 Februari sedangkan MD sudah sejak tanggal 22 Februari. Ada jeda lebih dari seminggu hingga uji specimen BAL terkonfirmasi tanggal 1 Maret 2020 kemarin.

Setelah diketahui positif Covid-19, reaksi ikutan segera dilakukan. 

Depok merumahkan 70 staf medis RS Mitra Keluarga yang terlibat kontak dengan NT dan MD. Di Jakarta, tim penanganan bergerak memeriksa karyawan Paloma & Amigos, tempat di mana NT pertama kontak dengan WN Jepang yang positif Corona itu.

Selama seminggu itu tentu NT dan MD juga berinteraksi dengan lebih banyak warga terkait kebutuhan dan kegiatan hidup sehari-hari.

Menurut media NT adalah pelatih dansa, tetapi tidak dijelaskan apakah setelah terkena demam pada 16 Februari itu ia cuti ataukah tidak. Selama 10 hari NT terkena flu dan demam perlu dilacak oleh tim pemantau untuk memitigasi potensi penyebaran di tempat lain.

Dalam kasus lain yang mirip yaitu di Bali dan Batam, pemerintah harus kerja ekstra keras untuk menemukan suspek yang berpotensi menjadi agen penyebar  Covid-19.

Covid-19 dapat menyebar tanpa gejala

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan karakter Covid-19 yang bisa menular diam-diam.

Journal of The American Medical Association (JAMA) merilis hasil penelitian bahwa ada 5 kasus di mana mereka terinfeksi Covid-19 dari pengidap yang tidak menunjukkan gejala umum pneumonia (tempo.com, 26/2/2020).

Dalam kasus Corona di Depok, 2 penghuni yang tinggal bersama NT dan MD mestinya ikut diisolasi untuk sementara meskipun tidak menunjukkan gejala sakit. Atau cara yang lebih praktis (namun mahal), pada kedua orang tersebut juga dilakukan uji specimen BAL untuk memastikan apakah ia benar-benar sehat tanpa terinfeksi ataukah tidak.

Karakter Covid-19 yang juga menyulitkan penanganan adalah kemampuannya untuk menetap di tubuh penderita meskipun sudah dinyatakan sembuh. Dalam beberapa kasus, penderita yang sudah sembuh ternyata dapat terserang kembali untuk yang kedua kalinya.

Uji Corona itu mahal!

Di tengah heboh kasus pertama wabah Corona di Indonesia, kita juga agak terkejut dengan pemberitaan soal 238 WNI yang dipulangkan dari Wuhan. Meski sempat diisolasi di Natuna selama 2 pekan, ternyata mereka tidak melewati uji specimen virus Corona (solopos.com, 2/3/2020).

Alasan pemerintah mengapa tidak dilakukan uji tes Corona adalah kendala biaya yang mahal. Reagennya (bahan-bahan kimia untuk menguji) mahal, 1 miliar.

Seandainya harga menjadi kendala untuk memeriksa semuanya, pemerintah tetap perlu melakukan sampling. Misalnya, dari 238 orang tersebut diambil contoh 5-10 % untuk mendekati keyakinan ilmiah bahwa mereka benar-benar sehat sesuai sertifikat yang diberikan.

Begitu juga dengan evakuasi awak kapal pesiar yang saat ini diobservasi di Seberu, Kepulauan Seribu. Selain dinyatakan sehat secara kasat mata, perlu sampling tes Corona. Syukur apabila semuanya ikut dites.

Menghadapi Covid-19 yang saat ini berpotensi berstatus pandemi global kita harus jauh lebih waspada. Trend-nya masih melonjak terus. Di China mungkin menurun tetapi di Iran dan Italia malah baru mulai; sementara di Jepang dan Korea Selatan juga masih berlangsung.

Pembentukan pusat penanganan (crisis center) perlu secepatnya dilakukan. Fungsinya untuk menahan laju tekanan masuk dari luar; juga mengkoordinasi kasus-kasus yang terjadi di dalam agar tidak menyebar ke daerah lain.

Corona sudah mengetuk pintu rumah, kita harus "segera" menyambutnya. Belajarlah dari China yang sempat abai di awal-awal Covid-19 tersebut menggejala.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun