Indonesia yang sedang hijrah menjadi negeri maritim (kembali), ternyata fakir kapal.
Kondisi tersebut sampai membuat Jepang tersentuh sehingga berkeinginan menghibahkan kapal patroli mereka untuk Indonesia. Hal itu disampaikan Menlu Retno Marsudi ketika berbicara ketertarikan Jepang untuk berinvestasi dalam bidang perikanan di Natuna (kompas.com, 12/01/2020).
Kapal-kapal kita pada umumnya mungkin kecil-kecil dan tidak cukup bila dibandingkan dengan luasnya batas teritori yang harus dijaga. Kesimpulan, kita perlu kapal besar dan jumlahnya beberapa.
Tetapi berbicara membangun angkatan laut dan armada kapal penjaga pantai, berarti kita berbicara soal anggaran.
Tampaknya penyelesaian masalah itu pendekatannya bukan oleh seberapa besar atau seberapa banyak kapal yang perlu dibeli; tetapi lebih dibatasi oleh seberapa banyak uang yang kita miliki.
Untuk mendapatkan alokasi pendanaan yang memadai, TNI AL dan KKP perlu meyakinkan DPR bahwa urgensi pembiayaan pos itu memang nyata adanya. Kebetulan pula sedang terjadi kisruh Natuna.
Pertanyaannya, berbanding dengan pos-pos anggaran vital yang lain seberapa mendesakkah pembangunan armada kapal itu? Lalu jika pengadaan kapal itu kita sepakati, darimana asalnya? Apakah bisa kita bikin sendiri atau membeli?
Periode pertama pemerintahan Jokowi dengan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri KKP, soal ukuran dan jumlah kapal tidak begitu terdengar. Padahal ukuran dan jumlah kapal-kapal kita sejak tahun-tahun sebelumnya tentu tidak jauh terpaut. Atau mungkin malah ada peningkatan dari segi kuantitas dan kualitas walaupun sedikit.
Selama 5 tahun laut dikelola Susi, yang kita dengar adalah betapa armada patroli kita begitu ditakuti oleh nelayan asing.
Ratusan kapal pencuri yang putus asa berakhir nasibnya di tangan Satgas 115 gara-gara nekad melanggar perbatasan. Ribuan yang lain terpaksa melaut di wilayah masing-masing, segan berurusan dengan garangnya para penjaga laut kita.