Cabang pembicaraan konflik Natuna salah satunya adalah tentang ukuran dan jumlah kapal.
Pemangku kebijakan mengatakan, kita butuh kapal besar dalam jumlah cukup untuk menjaga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Nelayan enggan melaut karena ukuran kapal lawan jauh lebih besar, takut ditabrak.
Narasi ukuran kapal sedang hangat dibicarakan; dari mulai nelayan hingga pejabat istana, dari pengamat sipil hingga purnawirawan jenderal.
Beberapa hari lalu, seorang nelayan asal Kabupaten Natuna, Dedi, mengungkapkan laut Natuna sekarang sudah kembali dikuasai nelayan asing. Ia dan kawan-kawan merasa tersisih dan terpaksa menghindar karena kapal mereka kalah ukuran.
Dedi, nelayan asal Kab. Natuna (tribunnews.com, 08/01/2020):
"Kapal saya 7 ton sering berhadapan dengan kapal dari China dan Vietnam. Kapal mereka antara 50 ton hingga 100 ton."
 Belum lama berselang, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga mengutarakan perlunya kapal besar ketika berbicara patroli laut untuk meronda wilayah perairan Indonesia.
Kepada Menhan Prabowo, Luhut mengusulkan pengadaan kapal ocean going yang tidak pernah dimiliki Indonesia sejak republik ini berdiri. Fregat 138-140 meter perlu dibeli, caranya terserah Prabowo (kompas.com, 04/01/2020).
Selain memperkuat angkatan laut, Luhut mengatakan bahwa Badan Keamanan Laut perlu kapal juga beserta peralatan dan kelengkapannya. Di Natuna nanti, selain pangkalan angkatan laut, pangkalan Bakamla dan pelabuhan perikanan untuk nelayan akan dibangun berdampingan.
Dari kalangan akademisi, pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, dalam sebuah diskusi di Menteng ikut membahas persoalan serupa.
Menurut Dosen UI tersebut kehadiran kapal perang TNI di ZEE Natuna sebenarnya sesuatu yang ganjil. ZEE adalah kawasan bermain kapal sipil, paling tinggi pangkatnya adalah kapal coast guard yang boleh berlayar di sana.
Kita mengirim kapal perang yang ukurannya sepadan dengan coast guard China bukan untuk bertempur, tetapi dalam rangka "menegakkan hukum", kilahnya (kompas.com, 12/01/2020).