Rabu kemarin lusa, Â Jokowi "usir" kapal nelayan China pergi dari ZEE di Natuna; hari ini Jum'at, Jepang datang ke istana untuk berbicara masalah investasi di sana (detik.com, 10/01/2020).
Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi, bertemu Presiden Jokowi di istana untuk membahas investasi sentra perikanan di Natuna. Pembicaraan lebih detil akan dilanjutkan Motegi bersama Menlu Retno Marsudi di Kemlu.
Jepang dan China adalah mitra kerjasama ekonomi yang penting di Indonesia. Keduanya sempat terlibat kompetisi memperoleh proyek kereta api cepat ruas Jakarta-Bandung pada tahun 2015.
Ruas Jakarta-Bandung tersebut akhirnya dimenangkan China meski Jepang sudah mengadakan survei secara mendalam lebih dahulu. Keputusan pemerintah Indonesia memilih China direspon keras oleh Jepang. Sebuah karikatur karya Onan Hiroshi bahkan sempat menyindir hal itu.
Natuna kaya sumber daya alam, baik di laut maupun di bawahnya.
Payung hukum internasional yang mengatur pembagian wilayah Laut Natuna sudah ditetapkan Konvensi PBB, UNCLOS 1982, yang notabene China sendiri sudah menandatanganinya. Di tingkat regional ASEAN, Code of Conduct juga sedang dibahas antara negara-negara Asia Tenggara bersama China.
Cara hardcore pemerintah Xi Jinping yang menimbulkan ketegangan di kawasan tersebut merupakan langkah kurang strategis. Selain dengan Indonesia, China juga menuai sengketa dengan Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Klaim China yang ekspansif melalui konsep the nine-dash line warisan Dinasti Ming jelas kentara sangat dipaksakan. Pembangunan pulau-pulau buatan yang palsu pun tidak bisa dijadikan dasar hukum klaim wilayah menurut UNCLOS 1982.
Berdasarkan pasal-pasal UNCLOS itu pula Jokowi pasti tahu bahwa kapal nelayan yang mencuri ikan di Natuna bisa ditangkap. Tetapi langkah itu tidak efektif, repot dan tidak cerdas jika harus mengejar puluhan kapal. Di samping itu proses hukum untuk mengurusnya lama dan pasti China akan mengulanginya lagi di masa depan.
Tetapi itu belum cukup, perlu tindak lanjut.