Awal tahun baru 2020 diawali dengan ketegangan politik global yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi krisis serius.Â
Tanggal 3 Januari, serangan udara Amerika Serikat dekat sebuah bandara di Irak membunuh Jenderal Iran Qassem Sulaimani (kompas.com, 04/01/2020). Terbunuhnya Komandan Pasukan Garda Revolusi Iran Al Quds tersebut langsung menimbulkan reaksi keras dari sekutu-sekutu Iran. Sejumlah serangan roket menyasar pangkalan dan kompleks Kedutaan AS di Irak.
Kematian Qassem di negaranya tidak ditandai dengan pengibaran bendera setengah tiang. Yang terjadi justru pengibaran bendera merah satu tiang penuh di Masjid Jamkaran, Qom. Dalam tradisi Syi'ah, pengibaran bendera tersebut merupakan simbol pembalasan dendam berdarah (tempo.co, 05/01/2020).
AS dan sekutunya negara-negara NATO tentu bersiap menghadapi serangan balasan Iran yang merasa tercoreng martabatnya. Tak ayal, konflik Timur Tengah akan semakin panjang setelah sempat mereda dengan kematian Pimpinan ISIS, Al Baghdadi, yang juga dibunuh pasukan khusus AS.
Sebelum provokasi kapal nelayan dan coast guard Cina yang memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna, Amerika Serikat berkali-kali memprovokasi Cina dengan melakukan pelayaran dekat wilayah sengketa.
Dikutip dari jakartagreater.com (30/09/2019) sebuah foto satelit yang dipublikasikan lewat twitter memperlihatkan kapal induk Amerika USS Ronald Reagen sedang dikepung kapal-kapal perang Cina. Mirip dengan insiden dikepungnya kapal coast guard Cina oleh kapal-kapal perang Indonesia yang terjadi pada saat ini.
Tanggal 20-21 November 2019 AL Amerika juga berlayar dekat Kepulauan Paracel dan Karang Mischief. Kapal perang Amerika melakukan hal itu sebagai bentuk dukungan terhadap 'kebebasan navigasi' yang secara otomatis membatalkan klaim Cina atas kawasan tersebut.
Secara sepihak, pemerintahan Xi Jinping lewat konsep Nine-Dash Line atau 9 garis putus-putus semakin kukuh mendaku Laut Cina Selatan, termasuk sebagian Natuna, sebagai wilayah miliknya.
Klaim tersebut sudah ditolak pengadilan Den Haag tahun 2016 lalu dan tidak diakui menurut  konvensi PBB UNCLOS 1982. Namun demikian Cina tetap bergeming.