Nelayan Natuna takut melaut.
Mereka terintimidasi dan bahkan diusir oleh kapal-kapal asing yang memanen ikan di laut Natuna. Kapal-kapal asing tersebut dikawal oleh kapal coast guard China.Â
Menurut Pangkogabwilhan I Laksda Yudo Margono, terdapat 30 nelayan asing yang mendapat perlindungan dari 3 kapal pemerintah China. Alat AIS (Automatic Identification System) sengaja mereka hidupkan, artinya mereka mengklaim tindakan itu legal.
Yang diketahui memang 30 kapal, pada hari pengamatan. Artinya, yang lolos dari pengamatan, atau yang masuk wilayah kita di luar waktu pengamatan jumlahnya bisa lebih atau kurang.
Nelayan  asing dan penjaga pantai negeri tirai bambu itu jelas melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia, dan melanggar Konvensi PBB tentang hukum laut, UNCLOS, yang juga sudah ditanda tangani mereka.
Jenderal-jenderal purnawirawan kita pasang gaya santai.
Menko Kemaritiman Luhut Binsar mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu diributkan. Woles! Koleganya di TNI dahulu dan di kabinet, Menhan Prabowo Subianto, tidak kalah rileks.Â
"Kita cool saja, kita santai kok ya. "Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat,"Â ujar Menhan Prabowo.
Menurut Luhut masuknya nelayan dan kapal pemerintah China di Natuna dapat diselesaikan baik-baik. Jika diributkan dikhawatirkan akan mengganggu iklim investasi di Indonesia, terutama dari China.
Permasalahannya, sejauh mana kita sudah mengambil tindakan agar Natuna "baik-baik saja".
Pengalaman Sipadan dan Ligatan yang diembat Malaysia menunjukkan, mental kalem dalam urusan wilayah kedaulatan bisa berujung susutnya batas wilayah NKRI. Malaysia itu lho, dan sekarang China.
Lebih garang Jokowi dan Susi dalam soal militansi menjaga wilayah laut.
Masuknya kapal China di Natuna dijawab Jokowi dengan menggelar rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol tepat di laut Natuna. Mantan Menteri Kelautan Susi membasmi habis kapal-kapal asing pencuri ikan termasuk yang berasal dari China.
Urusan masuknya nelayan dan kapal pemerintah asing  --entah China, Vietnam, atau Malaysia---bukanlah semata urusan pencurian ikan tetapi juga soal dignity, kedaulatan NKRI. Jelas-jelas wilayah kita dilanggar secara berulang dan terus menerus.
Tidak hanya Kementerian Kelautan dan Perikanan saja, TNI juga harus tegak dan tegas mengambil sikap. Jangan sampai gaya kerupuk kehujanan tampil di depan kekuatan asing.
Dosen UI, Hikmahanto Juwana menyatakan agar kita tidak ada tawar menawar dalam urusan kedaulatan di Natuna. Tidak ada negosiasi!
"Oleh karenanya yang dibutuhkan tidak sekedar protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia, tetapi kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia. Mulai dari KKP, TNI AL dan Bakamla," tegas Hikmahanto pada Kumparan (31/12/2019).
Dalam masalah ini, pemerintah juga harus memperhatikan urusan perut nelayan Natuna. Mereka tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.
Lalu bagaimana nasib keluarga mereka? Apakah pemerintah  mau kasih subsidi bulanan? Urusan mata pencaharian nelayan adalah urusan hidup sehari-hari. Tidak ada sangkut pautnya dengan dialog baik-baik ala Luhut yang bisa makan waktu berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Jangan sampai nelayan Natuna jadi fakir miskin di tepi laut kita sendiri yang kaya raya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H