Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jokowi Tunjuk Dewan Pengawas KPK, Koruptor Bingung dan Tertekan

19 Desember 2019   11:56 Diperbarui: 20 Desember 2019   08:22 5778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya diajari orang tua untuk membenci perbuatan memakan atau menggunakan sesuatu yang bukan hak, sejak kecil.

Sebutir kelapa yang jatuh di kebun tetangga di samping rumah beliau suruh kami untuk antarkan ke pemiliknya. Saya juga pernah kena damprat habis-habisan karena makan pisang matang yang ditaruh di beranda samping dapur yang ternyata titipan orang.

Sepulang dari mesjid, sandal saya sudah tidak ada. Alhasil karena tidak mau pulang nyeker saya pun pakai sandal orang lain, mungkin peninggalan empunya yang memakai sandal saya.

Atas keputusan itu ayah marah besar. Menurutnya, walaupun milik kita diambil orang bukan berarti kita boleh membalas. Begitu prinsipnya.

Ayah saya sendiri almarhum adalah sosok yang selalu berusaha bersih dan berhati-hati soal uang.

Beliau menolak menyuap pejabat dinas sehingga tidak pernah menjadi kepala sekolah, padahal itu sudah menjadi kewajaran berdasarkan kompetensi dan masa baktinya. Tinggal datang sowan ke pejabat berwenang maka jabatan pun tak lama akan disandang. Tentu sowan bukan sembarang sowan, Anda tahulah sendiri maksudnya.

Administrasi keuangan di sekolah tempatnya bekerja juga sempat beliau audit dengan cermat. Sejumlah penyelewengan kemudian berhasil diluruskan meskipun terpaksa membuat suasana tidak enak di antara sesama sejawatnya.

Begitulah apa yang terekam dalam benak saya hingga saat ini.

Maka, ketika KPK dibentuk untuk menghabisi korupsi di Indonesia, saya termasuk kelompok warga yang optimis bahwa korupsi bisa dihentikan. Dan itu kemudian perlahan-lahan terlihat buktinya.

Ratusan kepala daerah dan anggota dewan masuk penjara. Kolega-kolega mereka dari pihak swasta pun ikut terciduk. KPK seolah menjadi dewa penyelamat yang disanjung dan dipuja. Lama kelamaan ia lalu berubah jadi candu.

Ketika Jokowi memutuskan membuat Revisi Undang-undang KPK, kita meradang. Saya tergolong yang ikut gerah dengan gelagat pelemahan lembaga tersebut.

Apa-apaan Jokowi ini. Apakah hutang budi sama koalisi yang membantunya terpilih jadi presiden telah membuatnya jadi sandera? Kira-kira seperti itu prasangka yang berkecamuk dalam pikiran.

Tetapi sedikit skeptis mendorong hati untuk mencari tahu, apa yang terjadi di dalam institusi KPK.

Informasi yang saya dapatkan ternyata ada indikasi tindakan abuse of power segelintir pejabat KPK. Ada yang tersandung kasus penyadapan untuk kepentingan politik. Ada yang terendus masalah perbedaan tafsir ideologi, berkeinginan 'ganti sistem' cara kita bernegara. Ada pula dugaan  tebang pilih dalam menangani kasus.

Memang, informasi tadi tidak dapat kita telan langsung mentah-mentah. Fakta pendukung lain harus digali, adakah tokoh yang pro dengan RUU KPK ini. Ternyata ada.

Beberapa sosok seperti mantan Ketua KPK  Antasari Azhar dan Guru Besar Unpad Prof. Romli Atmasasmita membuat hati mantap pada keyakinan, pegawai KPK pun manusia juga seperti kita. Mereka terdiri dari darah dan daging mentah, juga punya syahwat. Mereka harus diawasi.

Persoalan lagi soal pengawas ini.

Adakah sosok yang mampu berdiri tegak menantang oligarki kekuatan koruptor di tubuh legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus? Mereka ini harus luar biasa cerdas, luar biasa tegas, dan betul-betul lempeng seperti penggaris. Pokoknya harus cadas.

Orang-orang biasa yang buta hukum mana paham soal kongkalikong pasal-pasal selundupan para garong kerah putih. Salah satu penyebab korupsi tumbuh subur juga adalah rendahnya hukuman koruptor, dan fasilitas-fasilitas mewah yang mereka dapatkan setelah divonis hakim. Mafia hukum dan kaki tangannya gentayangan di mana-mana.

"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu" (Mahfud MD, kompas.com 19/12/2019).

Seluk beluk anggaran, kita-kita yang buta akuntansi kelas tinggi mana ngerti soal kerugian negara yang terselip halus di antara ribuan lembar dokumen administrasi.

Kita butuh pakar yang berkompeten di bidang itu sekaligus yang berhati baja dan tidak silau dengan bayaran.

Jokowi menawarkan pendekatan lain.

Sejumlah nama telah diusulkan Jokowi kepada DPR untuk disetujui menjadi Dewan Pengawas KPK. Dewan inilah yang akan menjadi pagar pembatas dari segala tindakan komisioner dan anak buahnya, pemberantas korupsi yang punya wewenang luar biasa (detik.com, 18/12/2019).

Mereka diibaratkan sebagai super predator kalau di alam bebas. Jika kucing dipekerjakan untuk  memangsa tikus maka harus ada macan yang jadi mandor. Repot kalau kucing bisa disuap ikan asin oleh tikus.

Sejauh ini nama yang dipilih Jokowi cukup menjanjikan.

Artidjo Alkostar, superstar di jagat "persilatan hukum" kita. Protagonis  yang membuat koruptor di  LP Sukamiskin urung niat mengajukan banding. Ogah hukumannya diperberat alih-alih beroleh keringanan (cnnindonesia.com, 18/12/2019).

Ada juga Albertina Ho, hakim yang suka naik angkutan umum walaupun tunjangannya puluhan juta. Bagaimana caranya membungkam orang yang tidak doyan fulus? Hakim yang mengadili Gayus Tambunan ini integritasnya tidak diragukan lagi.

Mantan Ketua KPK juga masuk usulan, Taufiequrachman Ruki. Sosok yang sejauh ini tidak pernah terlihat gelagatnya mengincar bangku RI 2, apalagi yang nomor 1. Bukan penggila jabatan.

Repot kan menghadapi orang-orang begitu? Informasi terakhir Dewan Pengawas KPK akan didominasi oleh ahli hukum. Makin mantap seandainya Prof. Yusril Ihza bisa masuk dewan ini.

Sosok seperti Artidjo dkk. tadi memang bukan untuk dilawan atau dimusuhi; kecuali bagi mereka yang bermental klepto.

Fatwa universal mengatakan, kalau kepingin kaya jadilah pengusaha tulen (dan jujur). Lihatlah daftar tahunan orang-orang terkaya dari Forbes, kebanyakan entrepreneur. Tidak ada yang tercantum di sana berprofesi sebagai pegawai negeri, TNI, polisi, atau anggota DPR.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun