Ibarat petani yang lebih memilih menjual beras daripada gabah, siapa yang berhak melarang?
Mulai 1 Januari 2020 juga mereka menerapkan peraturan bahwa bahan seluruh bakar di Benua Biru harus berasal dari sumber energi terbarukan, dan biofuel yang berbahan baku kelapa sawit tidak termasuk kategori itu.
Anehnya, biofuel berbahan baku kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari tetap dimasukan kelompok energi terbarukan.
Dampak dari kebijakan diskriminatif UE menyebabkan Indonesia merugi karena ekspor produk olahan minyak sawit dan biofuel kita terus menurun.
Tahun 2018 nilai ekspor komoditas fatty acid methyl ester (FAME) tersebut mencapai USD 934 juta. Tahun 2019 nilai FAME menurun 5,58 persen, atau hanya menjadi sekitar USD 882 juta.
Penurunan ekspor produk olahan sawit ke Eropa membuat pemerintah kerepotan mencari pasar alternatif. Beberapa negara dijajaki termasuk daya serap konsumsi olahan sawit di dalam negeri.
UE menganggap biofuel Indonesia bukan sumber daya yang dapat diperbarui. Alasannya, industri pengolahan kelapa sawit memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) yang berisiko tinggi terhadap laju deforestasi.
Menghadapi diskriminasi UE tersebut Indonesia tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk melobi pihak pemerintah di sana agar mencabut kebijakan tak adil tersebut.
Namun tampaknya upaya kita yang dilakukan intensif sejak awal tahun 2019 tidak membuahkan hasil.
Indonesia kemudian mengadukan juga masalah diskriminasi produk olahan sawit itu kepada WTO. Sebagai inisiasi awal, Indonesia sudah mengajukan request for consultation kepada pihak UE sejak 9 Desember lalu (cnbcindonesia.com, 15/12/2019).